Pembunuhan Ziaurarman mengguncang politik Bangladesh pada tahun 1981 dan masih berdampak besar pada masa depan Partai Nasionalis Bangladesh (BNP). Sebagai pendiri dan presiden pertama BNP, kematian Zia tidak hanya memicu kesedihan nasional, tetapi juga menyebabkan serangkaian tantangan dan transformasi bagi partai tersebut dalam beberapa dekade berikutnya.
Insiden tersebut menjadi titik balik dalam perebutan kekuasaan politik di Bangladesh, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada struktur organisasi dan model tata kelola partai BNP.
Sejak didirikan pada tahun 1978, BNP telah berkembang di bawah kepemimpinan Zia, memenangkan beberapa pemilihan umum dan menjadi salah satu dari dua partai politik utama di Bangladesh bersama Liga Awami. Namun, kematian Zia yang tak terduga menjerumuskan partai tersebut ke dalam krisis besar dan arah masa depannya menjadi semakin tidak pasti.
Setelah kematian Zia, istrinya Khalida Zia mengambil alih sebagai pemimpin partai, menghadapi partai yang berjuang untuk bertahan hidup di bawah tekanan birokrasi dan militer. Kepemimpinan Khalid memungkinkan BNP membangun kembali sebagian kepercayaan publik pada tahun-tahun berikutnya, tetapi tidak dapat sepenuhnya meniru karisma dan pengaruh Zia.
"Dengan pengaruh Zia yang gagal berlanjut, strategi dan ide BNP mulai bergeser, menjadi lebih konservatif dan bahkan lebih radikal."
Selain itu, meluncurkan satu gerakan protes demi satu juga menyebabkan BNP mengalami kemunduran berulang kali dalam pemilihan berikutnya. Setelah mengalami beberapa kudeta dan tekanan pemerintah yang tinggi, struktur internal BNP mulai terpecah, dan banyak pemimpin inti memilih untuk mundur atau membuat partai politik baru untuk menghindari tekanan politik yang meningkat.
Moral dalam BNP telah melemah karena kegagalan jangka panjang dalam mengelola hubungan dengan pemilih dengan baik, ditambah dengan berbagai risiko dan tantangan eksternal. Dengan jatuhnya Khalid dari kekuasaan, masa depan partai telah menjadi ketidakpastian besar dalam seluruh politik Bangladesh. Pemimpin partai saat ini mengarahkan anggota partai untuk beroperasi di luar negeri, membuat perkembangan masa depan semakin sulit diprediksi.
“Perubahan ini tidak hanya memengaruhi jalur pengembangan BNP, tetapi juga membuat ekologi politik Bangladesh menghadapi rekonstruksi.”
Bahkan dalam menghadapi dukungan yang menurun dan kepemimpinan yang tidak stabil, BNP bekerja keras untuk membangun kembali hubungannya dengan publik dan mencoba mencari mitra baru. Dalam pemilihan baru-baru ini, BNP menggunakan slogan "kembali ke rakyat" dan "mengejar keadilan" untuk menarik pemilih lagi, tetapi tanggapannya berulang kali tidak memenuhi harapan.
Dengan banyaknya anggota partai yang hengkang dan situasi politik yang semakin sulit, apakah BNP dapat meraih kembali kejayaannya di masa mendatang merupakan isu yang patut mendapat perhatian. Tragedi Ziaur Rahman telah membuat semua partai politik memahami bahwa kelangsungan hidup dan masa depan politik mereka bergantung pada strategi diplomatik, struktur organisasi, dan kepercayaan rakyat.
Kini, menghadapi serangkaian tantangan dan masalah ini, kita tidak dapat menahan diri untuk bertanya: Apakah BNP dapat mengatasi kesulitan dan meraih kembali dukungan rakyat, atau akankah ia selalu berjuang di bawah bayang-bayang Zia?