Dalam lingkungan politik saat ini, polarisasi emosional telah menjadi fenomena yang semakin menonjol. Perbedaan dalam sikap politik tidak lagi terbatas pada posisi kebijakan. Semakin banyak individu menunjukkan keengganan emosional dan ketidakpercayaan yang jelas terhadap partai politik lawan. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi suasana percakapan politik, tetapi juga memicu perpecahan dan konfrontasi dalam masyarakat.
Polarisasi politik adalah pembentukan perbedaan atau konflik yang signifikan antara kelompok-kelompok besar dalam suatu masyarakat atau sistem politik, yang terwujud dalam pengelompokan dan radikalisasi pendapat dan keyakinan.
Para sarjana sering membagi polarisasi menjadi polarisasi ideologis dan polarisasi emosional. Polarisasi ideologis terutama menekankan perbedaan antara posisi kebijakan, sementara polarisasi emosional berfokus pada reaksi emosional individu terhadap kelompok pembangkang. Dalam sistem dua partai, polarisasi emosional sangat jelas, dan pertentangan antara partai politik meningkat, sehingga memudahkan individu untuk mengembangkan emosi negatif terhadap "partai lawan."
Akar polarisasi politik dapat ditelusuri ke sejumlah faktor, termasuk dinamika internal partai politik, pengaruh media, dan perilaku pemilih itu sendiri. Ketika partai politik semakin terpolarisasi dalam sikap politik mereka, pemilih secara bertahap menunjukkan "kesetiaan partai" yang semakin kuat.
Polarisasi politik tidak hanya mencerminkan pertentangan antara partai politik, tetapi juga mengintensifkan permusuhan dan ketidakpercayaan pemilih terhadap kelompok lawan.
Polarisasi emosional menyebabkan pemilih tidak hanya tetap berada di pihak oposisi ideologis, tetapi juga sering menunjukkan permusuhan emosional terhadap partai lawan. Hal ini membuat dialog sosial menjadi sulit dan menghambat kerja sama dan komunikasi lintas partai. Bahkan ketika menghadapi tantangan bersama, individu mungkin masih menolak untuk bekerja sama karena keberpihakan mereka.
Ekosistem media saat ini juga memainkan peran penting dalam polarisasi emosional. Algoritme media sosial cenderung menciptakan "ruang gema" yang memaparkan informasi yang konsisten dengan posisi pengguna dan mengisolasi suara-suara yang tidak setuju. Umpan konten yang dipersonalisasi ini tidak hanya memperkuat bias pengguna tetapi juga mendorong pertumbuhan permusuhan terhadap posisi yang berlawanan.
Seiring media menjadi lebih terpolarisasi, khalayak menjadi lebih ekstrem dalam pandangan politik mereka, yang mengarah pada diskusi yang semakin panas di sepanjang garis partisan.
Penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan polarisasi emosional tidak hanya disebabkan oleh gerakan ideologis, tetapi juga terkait dengan perbedaan budaya, ketidaksetaraan ekonomi, dan latar belakang sejarah masyarakat. Kepercayaan agama, identitas ras, dan faktor-faktor lain masyarakat sering kali memicu perpecahan yang lebih dalam yang selanjutnya mendorong antagonisme emosional.
Dalam masyarakat modern, meluasnya polarisasi emosional tidak hanya memengaruhi perilaku pemilih dalam memilih, tetapi juga secara bertahap merambah ke dalam kehidupan sehari-hari dan interaksi sosial. Permusuhan yang ditimbulkan oleh orang-orang terhadap individu dengan pandangan politik yang berbeda bahkan dapat menyebabkan perpecahan masyarakat.
Polarisasi afektif dapat menyebabkan sikap yang lebih agresif dan akhirnya disorganisasi sosial.
Bagaimana cara mengurangi polarisasi emosional dan membangun lingkungan politik yang lebih inklusif? Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa mempromosikan dialog dan pemahaman lintas partai, membangun rasa identitas nasional yang sama, dan mendorong diskusi publik yang saling menghargai adalah cara yang efektif untuk mengurangi konfrontasi emosional. Masyarakat perlu menemukan kembali nilai-nilai dan isu-isu yang sama serta membangun kembali kepercayaan sosial.
Dalam keadaan seperti itu, kita tidak dapat menahan diri untuk bertanya-tanya: Dapatkah kita menemukan cara untuk meningkatkan dialog politik dalam menghadapi oposisi yang semakin intensif?