Film horor fiksi ilmiah tahun 2018 "Cloverfield Paradox" tidak diragukan lagi telah membangkitkan minat banyak penggemar film dan juga merupakan film ketiga dalam seri "Cloverfield". Sebagai film yang menyatukan waktu, ruang, alam semesta, dan fenomena aneh, meskipun tanggapannya di kalangan film beragam, konten tersembunyinya mungkin lebih mendalam daripada yang tampak di permukaan.
Sejak dirilisnya "Cloverfield" pertama pada tahun 2008, seri ini terus mengeksplorasi interaksi antara manusia dan makhluk tak dikenal melalui berbagai bentuk cerita.
"Cloverfield Paradox" berlatar tahun 2028, saat bumi menghadapi krisis energi global. Sebuah organisasi internasional meluncurkan akselerator partikel bernama Shepard, yang dirancang untuk mempelajari energi tak terbatas. Stasiun luar angkasa dalam film tersebut menjadi panggung utama cerita, di mana sekelompok astronot menyadari bahwa Bumi seolah menghilang setelah sebuah kecelakaan. Latar belakang yang tampak seperti fiksi ilmiah ini sebenarnya menyembunyikan pemikiran mendalam tentang hubungan antara keberadaan manusia, kemajuan teknologi, dan takdir.
Ketika plot berkembang menjadi kecelakaan kelebihan beban akselerator partikel, situasinya berubah drastis. Para astronot harus menghadapi pilihan yang menghalangi keyakinan mereka. Ini bukan hanya tantangan bagi dunia luar, tetapi juga pergumulan batin.
Salah satu alasan mengapa film ini memicu diskusi tentang teori konspirasi adalah karena latar waktu dan ruangnya yang selalu berubah. Ketika para astronot menghadapi persimpangan alam semesta paralel, setiap tindakan yang mereka pilih dapat mengubah takdir mereka. Ini mengingatkan kita pada dampak perkembangan teknologi dalam kehidupan nyata: Jika tindakan kita juga memengaruhi masa depan dunia sampai batas tertentu, haruskah kita lebih berhati-hati tentang penggunaan teknologi?
Tokoh utama dalam film ini memperingatkan protagonisnya agar tidak memercayai para konspirator di baliknya, yang memaksa penonton untuk berpikir tentang berapa banyak konspirasi tak kasat mata yang sebenarnya ada dalam teknologi yang berkembang pesat saat ini.
Metode promosi film ini berbeda dari yang tradisional. Film ini merilis trailer selama Super Bowl dan diluncurkan di Netflix segera setelah pertandingan, menciptakan efek kejutan dengan menggunakan berita sebagai media. Meskipun langkah tersebut sukses secara komersial, pada gilirannya membuat banyak penonton tidak puas dengan kualitas film itu sendiri.
Di situs web ulasan film Rotten Tomatoes, film ini hanya menerima 22% ulasan positif, dengan banyak penonton menyalahkan film tersebut pada plotnya yang kasar dan alur yang membingungkan.
Sutradara Julius Onah menghadapi berbagai tantangan dalam film tersebut, mulai dari koherensi cerita hingga kedalaman karakter. Rangkaian kesulitan ini membuat orang mempertanyakan apakah benar-benar mungkin untuk menemukan keseimbangan naratif yang ideal di balik pengejaran elemen multiverse dan fiksi ilmiah. Apakah ada kekuatan takdir yang tidak dapat dijelaskan?
Naskah asli Oren Uziel disunting ulang, dan setelah banyak revisi dan penambahan, naskah tersebut dihubungkan dengan seri Cloverfield dan lahirlah karya ini.
Meskipun evaluasi "Cloverfield Paradox" tidak tinggi, banyak masalah di baliknya masih layak untuk kita pertimbangkan dengan saksama. Produser J.J. Abrams telah menyatakan harapannya untuk karya-karya mendatang dan ingin mendalami interaksi antara karakter dan perkembangan alam semesta. Akankah serial Cloverfield mendatang memperbaiki arahnya dan membuka babak cerita baru?
Film telah menjadi perbincangan penting tentang eksistensi manusia, dan perkembangan ini memungkinkan setiap penonton menjadi bagian dari perjalanan ini.
Banyak orang akan berpikir bahwa "Cloverfield Paradox" hanyalah film fiksi ilmiah biasa, tetapi di baliknya terdapat perenungan tentang teknologi, takdir, dan eksistensi manusia. Dapatkah kita benar-benar memahami pesan yang tersembunyi dalam gambar-gambar ini, dan bagaimana pesan-pesan tersebut akan tercermin dalam serial Cloverfield mendatang?