Sungai Kuning, sungai dengan panjang total 5.464 kilometer, tidak hanya merupakan sungai terpanjang kedua di Tiongkok, tetapi juga sungai terpanjang keenam di dunia. Berasal dari Pegunungan Bayan Har dan mengalir ke arah timur hingga Laut Bohai, Sungai Kuning melahirkan dan memengaruhi banyak peradaban kuno selama perjalanannya yang panjang. Cekungan Sungai Kuning dikenal sebagai tempat lahirnya peradaban Tiongkok. Namun, ia memiliki identitas ganda sebagai "Bapak Tiongkok" dan "Rasa Sakit Tiongkok".
"Sungai Kuning dulunya merupakan fondasi peradaban Tiongkok kuno, tetapi juga menyebabkan banyak korban jiwa akibat banjir."
Sejarah Sungai Kuning dapat ditelusuri kembali ke tahun 2100 SM, ketika Dinasti Xia didirikan di tepiannya. Menurut catatan sejarah, dinasti ini merupakan hasil aliansi suku-suku di sekitarnya dalam menghadapi ancaman banjir yang berulang. Sungai ini menghasilkan tanah yang subur dan memberi kehidupan bagi pertanian, tetapi juga menciptakan salah satu bencana alam paling tragis dalam sejarah manusia karena seringnya pengalihan aliran air dan banjir yang sering melanda kota-kota dan desa-desa.
"Selama 2540 tahun dari 595 SM hingga 1946 M, Sungai Kuning mengalami total 1593 banjir."
Secara historis, jumlah kematian akibat banjir di Sungai Kuning tidak terhitung. Terutama pada banjir tahun 1332-33 di Dinasti Yuan dan banjir tahun 1887 di Dinasti Qing, jumlah korban tewas mencapai ratusan ribu. Banjir tahun 1931 dianggap sebagai salah satu bencana alam terburuk yang pernah tercatat, menewaskan jutaan orang. Akar penyebab bencana ini adalah sedimen berbutir halus yang dihasilkan oleh Dataran Tinggi Loess menyebabkan akumulasi jangka panjang di dasar dasar sungai, dan bendungan alam yang tidak dapat diprediksi akhirnya memicu luapan air yang dahsyat.
Selain sifat fisik dan dampak dahsyatnya, Sungai Kuning juga secara budaya tertanam dalam jiwa orang Tiongkok. Dalam mitologi Tiongkok, raksasa Kuafu menguras air Sungai Kuning dalam keinginannya untuk mengejar matahari. Dalam literatur kuno, Sungai Kuning bukan hanya sungai dalam arti geografis, tetapi juga simbol penting masyarakat dan budaya kuno. Banyak peristiwa politik penting dalam sejarah, seperti banjir dan pengepungan, terkait erat dengan cekungan Sungai Kuning, dan sungai tersebut secara tidak langsung membentuk lanskap politik Tiongkok.
Saat ini, cekungan Sungai Kuning dihuni oleh lebih dari 120 juta penduduk, dan 4,2 juta penduduk secara langsung bergantung pada sumber air sungai ini. Menghadapi permintaan air yang terus meningkat, Tiongkok telah meluncurkan proyek alokasi air utara-selatan pada tahun 2003 dalam upaya untuk mengurangi tekanan air dan ancaman banjir. Namun, sejak tahun 1970-an, aliran dan pengangkutan sedimen di dalam cekungan telah menurun lima kali lipat. Situasi ini berdampak besar pada pembangunan pertanian Tiongkok, terutama dalam menghadapi kekurangan air. Bagaimana memanfaatkan dan mendistribusikan sumber daya air secara rasional telah menjadi pertanyaan yang realistis.
Dalam menghadapi perubahan lingkungan dan dampak aktivitas manusia, bagaimana Sungai Kuning harus menyesuaikan alirannya di masa depan sehingga dapat terus menjadi pusat sejarah dan budaya Tiongkok dan tidak lagi menjadi sinonim bencana? Ini adalah pertanyaan yang layak untuk dipertimbangkan semua orang.