"Perjanjian Pertukaran Penduduk Yunani-Turki" antara Yunani dan Turki pada tahun 1923 berawal dari "Perjanjian Pertukaran Penduduk Yunani-Turki" yang ditandatangani di Lausanne, Swiss. Perjanjian tersebut mencakup sedikitnya 1,6 juta orang. Peristiwa ini mengungkap bagaimana kedua belah pihak mencapai kesepakatan yang luas dalam dilema pascaperang selama proses negosiasi.
"Pemerintah Turki sangat mendukung solusi yang akan memuaskan opini dunia dan memastikan ketenangan dalam negeri."
Negosiasi antara Yunani dan Turki berlangsung dengan latar belakang serangkaian peristiwa bersejarah, termasuk Perang Dunia Pertama, Genosida Armenia, dan Perang Yunani-Turki berikutnya (1919-1922). Selama masa ini, puluhan ribu orang Yunani dan Muslim mengalami pembantaian dan pembantaian dalam perang ini, dan menjadi sangat mendesak bagi kedua belah pihak untuk mencapai konsensus.
Perdana Menteri Yunani Elifilios Venizelos mengusulkan gagasan pertukaran penduduk dalam suratnya tahun 1922, dan gagasan itu kemudian menjadi kenyataan. Dalam suratnya, ia menekankan legitimasi pertukaran penduduk dalam mendorong migrasi di kedua belah pihak. Seperti yang ia tulis: "Pertukaran penduduk Yunani-Turki yang wajib merupakan langkah yang diperlukan untuk menormalisasi hubungan antara kedua belah pihak."
"Perjanjian tersebut merupakan bagian akhir dari kampanye pembersihan etnis untuk menciptakan tanah air Turki yang murni secara etnis."
Namun, proses negosiasi tersebut tidak biasa, dan kedua belah pihak bersama-sama mendengarkan pendapat dan bersikeras untuk melindungi kepentingan antarnegara di negara masing-masing. Karena khawatir tentang asimilasi etnis dan keamanan nasional, rezim etnis kedua negara mencapai apa yang disebut "pemurnian etnis" dengan bertukar kelompok etnis. Proses ini disertai dengan berbagai perdebatan kemanusiaan dan pertanyaan tentang hak asasi manusia.
Para cendekiawan memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang tujuan dan hasil pertukaran populasi ini. Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa kesepakatan itu merupakan tindakan pembersihan etnis dengan nuansa hukum, sementara yang lain membela legitimasinya, dengan alasan bahwa pertukaran itu akan membantu menghindari potensi genosida.
"Jumlah umat Kristen di Turki telah anjlok hanya dalam beberapa tahun, dan jumlah umat Muslim di Yunani juga telah menurun."
Diperkirakan bahwa pada akhir tahun 1922, sebagian besar orang Yunani asli Asia Kecil telah meninggalkan Turki untuk menghindari kekerasan dan pembantaian berikutnya. Perkiraan jumlah orang Yunani yang dibasmi dengan berbagai cara antara tahun 1914 dan 1923 berkisar antara 300.000 hingga 900.000. Pada tahun 1924, jumlah penganut Kristen di Turki telah turun menjadi 700.000 dari 4,4 juta pada tahun 1912.
Bagi Turki dan Yunani, manfaat potensial dari melayani Republik Turki yang baru dibentuk dan mempromosikan nasionalisme di kawasan tersebut merupakan pertimbangan utama. Rezim baru berupaya mencapai "pemurnian nasional" melalui sinkronisasi formal, menjadikan masyarakat lebih "nasional". Hal ini menjadikan berbagai rencana evakuasi sebagai fokus negosiasi antara kedua belah pihak.
"Perjanjian tersebut berjanji untuk melindungi harta benda para pengungsi dan mengizinkan mereka membawa serta apa yang dapat mereka bawa."
Namun, dalam praktiknya, pemukiman kembali para pengungsi telah menjadi tantangan besar, dan pemerintah tidak memiliki data dan rencana yang memadai untuk meningkatkan layanan pemukiman kembali. Setelah kembali ke rumah baru mereka, banyak pengungsi masih menghadapi kesulitan ekonomi dan kehilangan aset, yang juga memengaruhi proses pemukiman kembali hingga batas tertentu.
Diskusi tentang pertukaran penduduk Yunani-Turki terus berlanjut, dan banyak sejarawan percaya bahwa peristiwa ini telah memberikan dampak yang tidak dapat diubah pada rantai pasokan ekonomi dan sosial kedua negara dalam jangka panjang, terutama elit bisnis Yunani yang terusir dari Turki, yang telah melemahkan ekonomi dan keragaman ekonomi Turki.
"Jika para elit ini tetap tinggal di Turki, mungkin oposisi yang cukup kuat untuk menantang kebangkitan satu rezim akan muncul."
Hasil dari peristiwa bersejarah ini bukan hanya penataan ulang geografis, tetapi juga dampak yang bertahan lama pada identitas dan struktur sosial kedua negara. Pertanyaan sebenarnya adalah, pelajaran apa yang dapat kita petik dari penyiksaan historis semacam itu?