"Hamlet" karya Shakespeare bukan hanya salah satu karya terpenting dalam sastra Barat, tetapi tokoh utamanya, Hamlet, juga telah menjadi representasi konkret manusia yang menghadapi pergumulan batin, kematian, dan masalah eksistensial. Terutama dalam monolog Hamlet yang terkenal, "To be or not to be", pertanyaan filosofis ini hampir menjadi inti pikiran tokoh tersebut, yang mencerminkan kontradiksi dan kecemasan batinnya.
"To be or not to be, itulah pertanyaannya: apakah akan menanggung panah beracun takdir, atau memberontak."
Keraguan Hamlet sering ditafsirkan sebagai kecemasannya yang mendalam tentang misi balas dendam. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh kecemburuan dan kekecewaan terhadap ibu dan pamannya, tetapi juga berasal dari pemikirannya tentang hakikat kehidupan. Setelah menghadapi kenyataan tentang pembunuhan ayahnya dan pengkhianatan ibunya, Hamlet dipaksa menghadapi pertanyaan yang tidak mengenakkan: Apa arti hidup? Keingintahuannya dan ketakutannya akan kematian membentuk kontras yang kuat, membuatnya sulit untuk mengambil keputusan untuk mengambil tindakan.
"Mengapa aku hidup? Aku telah benar-benar kehilangan kepercayaan pada makna hidup."
Psikolog Sigmund Freud menganggap kontradiksi Hamlet sebagai contoh kompleks Oedipus, percaya bahwa emosi Hamlet yang kompleks menghadapi ibunya menghambat tindakannya. Perjuangan batin ini dan kesetiaan yang bertentangan kepada keluarganya menjerumuskannya ke dalam keraguan diri dan penderitaan yang tak pernah berakhir. Hamlet tidak hanya harus menghadapi musuh eksternal, tetapi juga berjuang dengan konflik emosionalnya sendiri. Perjuangan psikologis yang mendalam ini membuat karakternya lebih tiga dimensi.
"Perjuangan batin seseorang dan pemikiran tentang eksistensi adalah pertempuran yang sesungguhnya."
Dalam latar belakang sejarah yang terus berubah, penafsiran "Hamlet" juga menghadirkan pandangan yang beragam. Dari dialektika rasional Renaisans hingga analisis mendalam tentang karakter tersebut dalam kritik romantisme selanjutnya, peran Hamlet terus direkonstruksi. Dalam bacaan saat ini, para sarjana lebih memperhatikan jalinan politik, latar belakang budaya, dan emosi individu, serta mengkaji ulang bagaimana sang pangeran menemukan dirinya di antara konspirasi dan kenyataan.
Konsep "bertahan hidup dan kehancuran" yang dibahas dalam "Hamlet" menggugah pikiran. Ketika pembaca kontemporer menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup, mereka tidak dapat tidak berpikir tentang: Bagaimana kita harus menghadapi diri kita sendiri di jalan kehidupan? Hanya melalui rasa takut dan ragu-ragu kita akhirnya dapat menemukan jawaban kita sendiri?