Di dunia yang kacau seperti saat ini, kekejaman perang terus terjadi, tetapi dengan berkembangnya hukum humaniter internasional, pembatasan dan regulasi tentang pelaksanaan perang telah menjadi konsensus global. Hukum humaniter internasional bertujuan untuk melindungi warga sipil yang tidak ikut serta dalam permusuhan dan membatasi sarana dan metode pertempuran sehingga prinsip-prinsip kemanusiaan dapat tertanam dalam dasar perang.
Inti dari hukum humaniter internasional adalah menyeimbangkan kepentingan kemanusiaan dan kebutuhan militer, yang bertujuan untuk mengurangi dampak yang menghancurkan dan penderitaan manusia yang disebabkan oleh perang.
Perkembangan hukum humaniter internasional dimulai pada abad kesembilan belas, yang paling terkenal adalah serangkaian Konvensi Jenewa. Konvensi-konvensi ini tidak hanya mencakup kerangka hukum perang, tetapi juga memberikan jaminan yang jelas untuk hak-hak dan perlakuan terhadap korban. Meskipun hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia internasional berada dalam kategori yang berbeda, keduanya saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri.
Hukum humaniter internasional modern merupakan jalinan dua faktor historis: Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Keduanya dinamai berdasarkan konferensi internasional yang pernah diadakan dalam sejarah, yang mengatur pelaksanaan perang sesuai dengan itu. Khususnya pada Konferensi Den Haag tahun 1899 dan 1907 serta Konferensi Jenewa Pertama tahun 1864, berbagai perjanjian dibuat satu demi satu, yang membuka jalan bagi hukum humaniter internasional di kemudian hari.
Hukum Den Haag berfokus pada hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berperang, sedangkan Hukum Jenewa berfokus pada perlindungan mereka yang tidak ikut berperang.
Bahkan di tengah kehancuran akibat perang, gagasan tentang kemanusiaan tetap ada. Secara historis, banyak budaya dan agama memiliki konvensi dan norma untuk melindungi korban perang. Dari pengampunan yang dilakukan oleh raja-raja dalam Alkitab hingga Kitab Suci Manu India Kuno, kepedulian yang manusiawi ditunjukkan. Contoh-contoh historis ini menekankan batasan moral saat melawan musuh dan perilaku manusiawi yang diperlukan dalam memperlakukan tahanan dan warga sipil.
Setelah memasuki abad kedua puluh, hukum humaniter internasional telah berkembang pesat. Pada tahun 1863, "Memoirs of Sofino" karya Henry Dunant mendorong pembentukan Palang Merah, yang memberikan aksi kemanusiaan sebuah organisasi formal. Setelah itu, keempat Konvensi Jenewa menegaskan kembali dan memperluas hukum humaniter pada tahun 1949, yang selanjutnya memperjelas kewajiban untuk melindungi warga sipil dan korban dalam perang.
Sebagai satu-satunya lembaga yang secara eksplisit ditetapkan dalam hukum humaniter internasional, misi Palang Merah Internasional adalah untuk melindungi kehidupan dan martabat korban perang.
Dalam praktiknya, pelanggaran hukum humaniter internasional dikenal sebagai kejahatan perang. Tindakan-tindakan ini tidak hanya memengaruhi status hukum masing-masing kombatan, tetapi juga mengancam legitimasi seluruh perang. Pelanggar akan diadili dan dijatuhi sanksi oleh pengadilan internasional. Hal ini menunjukkan pentingnya komitmen komunitas internasional untuk melindungi warga sipil dan membatasi pertempuran.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, metode-metode pertempuran baru seperti pesawat nirawak dan perang siber telah muncul, yang membuat penerapan hukum menjadi lebih sulit. Bagaimana hukum humaniter internasional menanggapi tantangan-tantangan baru ini dan terus menyesuaikan diri untuk menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan secara efektif merupakan isu penting di masa depan. Komunitas internasional harus terus berupaya untuk memastikan bahwa tidak peduli bagaimana bentuk perang berubah, prinsip-prinsip dasar kemanusiaan selalu dihormati.
Dalam situasi yang tidak dapat diprediksi ini, bagaimana kita dapat memastikan penerapan hukum humaniter internasional yang efektif untuk benar-benar melindungi orang-orang yang tidak bersalah dalam perang?