Seiring meningkatnya permintaan global akan energi bersih, energi nuklir semakin mendapat perhatian sebagai sumber alternatif yang potensial. Efisiensi pengoperasian reaktor nuklir dan kepadatan energi yang dilepaskannya menjadikannya pilihan penting untuk produksi listrik yang efisien. Jadi, bagaimana tepatnya reaktor nuklir mencapai efisiensi tersebut? Seberapa kuat kepadatan energi yang tersembunyi di baliknya?
Reaktor nuklir adalah perangkat yang memulai dan mengendalikan reaksi berantai fisi nuklir dan banyak digunakan dalam listrik komersial, propulsi laut, pembuatan senjata, dan penelitian.
Prinsip utama reaktor nuklir adalah menggunakan unsur-unsur berat (seperti uranium-235 atau plutonium-239) untuk menyerap neutron dan menjalani fisi nuklir, sehingga melepaskan sejumlah besar energi. Ketika inti fisi mengumpulkan cukup banyak neutron, ia akan terpecah menjadi inti unsur yang lebih ringan, melepaskan energi dan lebih banyak neutron. Neutron-neutron ini selanjutnya dapat memicu reaksi berantai, mencapai pasokan energi yang berkelanjutan. Biasanya, desain reaktor nuklir mencakup sistem kontrol aktif dan pasif untuk mengatur jumlah dan distribusi neutron guna menjaga kekritisan reaktor.
Uranium yang diperkaya rendah memiliki kepadatan energi 120.000 kali lipat dari batu bara, yang menunjukkan potensi besar tenaga nuklir sebagai sumber energi.
Efisiensi tinggi reaksi nuklir berasal dari kepadatan energinya yang luar biasa. Dibandingkan dengan bahan bakar tradisional, seperti batu bara, bahan bakar nuklir melepaskan energi ratusan ribu kali lebih banyak. Didorong oleh pasar dan teknologi, banyak negara terus mengeksplorasi desain reaktor nuklir yang lebih aman dan lebih efisien, yang memungkinkan energi nuklir menyediakan energi yang stabil dan rendah karbon serta menjadi salah satu solusi krisis energi global.
Penemuan fisi nuklir dapat ditelusuri kembali ke tahun 1938, setelah negara-negara secara berturut-turut meluncurkan penelitian energi nuklir militer dan sipil. Pada tahun 1942, tim yang dipimpin oleh Enrico Fermi membangun reaktor nuklir kritis buatan pertama dalam sejarah, Chicago P-1, di Chicago. Seiring berjalannya waktu, desain dan pengoperasian reaktor nuklir telah berkembang. Dari lebih dari 400 reaktor nuklir komersial yang saat ini beroperasi di seluruh dunia, lebih dari 70% menggunakan desain reaktor air bertekanan, yang awalnya dikembangkan untuk memberi daya pada kapal selam Angkatan Laut AS. Dikembangkan untuk tenaga.
Energi panas yang dihasilkan oleh inti reaktor nuklir dapat digunakan untuk menghasilkan listrik, serta untuk pemanasan, desalinasi air laut, dan produksi hidrogen.
Pembangkit listrik tenaga nuklir komersial biasanya menggunakan pendingin (biasanya air) untuk menyerap panas dari reaksi nuklir secara bertahap, yang mengubah air menjadi uap yang menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik. Proses ini memastikan bahwa tenaga nuklir tetap menjadi sumber penting listrik rendah karbon di seluruh dunia, bahkan saat energi terbarukan tumbuh pesat saat ini.
Namun, pengembangan energi nuklir bukannya tanpa tantangan. Risiko proliferasi nuklir, pengelolaan limbah nuklir, dan beberapa kecelakaan nuklir besar di masa lalu (seperti Chernobyl dan Fukushima) telah menimbulkan pertanyaan tentang masa depan energi nuklir. Untuk menghadapi tantangan ini, negara-negara berupaya mengembangkan teknologi reaktor nuklir generasi baru yang lebih aman dan lebih efisien, termasuk desain baru seperti reaktor modular kecil dan reaktor garam cair. Teknologi ini diharapkan dapat mengurangi risiko sambil mempertahankan efisiensi tinggi.
Pada tahun 2025, ada 417 reaktor nuklir komersial yang beroperasi di seluruh dunia, yang mencakup 9% dari pasokan listrik global.
Karena negara-negara besar secara aktif mempromosikan pengembangan energi nuklir dan menghadapi kebutuhan transformasi energi, status energi nuklir dapat meningkat secara bertahap. Namun, dapatkah kita mempromosikan energi nuklir sambil juga secara efektif memecahkan masalah yang disebutkan dalam artikel ini?