Penyakit Graves, dengan karakteristiknya sebagai penyakit autoimun, dianggap sebagai penyebab utama hipertiroidisme. Pada penyakit ini, angka kejadian pada wanita jauh lebih tinggi daripada pada pria. Fenomena ini telah menarik perhatian banyak ahli medis. Menurut penelitian, wanita sekitar tujuh kali lebih mungkin terkena penyakit Graves daripada pria. Apa alasan di balik ini?
Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh kelainan pada sistem imun yang menyebabkan antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menyebabkan kelebihan hormon tiroid. Hal ini dapat menyebabkan berbagai gejala, termasuk kecemasan, kelemahan otot, peningkatan denyut jantung, penurunan berat badan, dll. Penyakit ini juga dapat disertai dengan ciri-ciri seperti pembesaran tiroid dan proptosis mata. Menurut statistik, proporsi pria yang menderita penyakit ini sekitar 0,5%, sedangkan proporsi wanita setinggi 3,0%.
Mengapa wanita lebih mungkin mengembangkan penyakit Graves daripada pria? Para ahli percaya bahwa hal ini terkait dengan interaksi berbagai faktor, terutama pengaruh hormonal dan kerentanan genetik.
Estrogen pada wanita dapat memengaruhi respons sistem imun, sehingga meningkatkan risiko wanita terkena penyakit autoimun.
Studi telah menemukan bahwa sistem imun wanita sudah lebih sensitif terhadap pengaruh faktor lingkungan dan mutasi genetik pada usia yang lebih muda, yang meningkatkan kemungkinan wanita menderita penyakit Graves pada berbagai tahap kehidupan, terutama selama kehamilan dan menopause. Selain itu, perubahan neuroendokrin, seperti stres, kelelahan, dan perubahan suasana hati, sering kali memicu reaksi yang lebih parah pada wanita, yang berpotensi mengaktifkan respons autoimun.
Selain hormon, faktor genetik juga berperan penting dalam perkembangan penyakit Graves. Penelitian telah menunjukkan bahwa penyakit Graves menyerang keluarga tertentu, dan jika salah satu anggota keluarga mengidap penyakit tersebut, anggota keluarga lainnya akan berisiko lebih tinggi. Dan mereka yang memiliki genotipe tertentu, seperti antigen alami HLA-DR3, lebih rentan terhadap penyebabnya.
Faktor lingkungan juga dianggap berperan dalam perkembangan penyakit Graves. Infeksi virus atau bakteri tertentu telah ditemukan menyebabkan kelainan sistem imun, yang memicu proses penyakit. Misalnya, antibodi yang diproduksi oleh beberapa orang setelah infeksi dapat bereaksi silang dengan jaringan di kelenjar tiroid, yang memicu respons autoimun. Penting untuk dicatat bahwa dampak infeksi ini pada pria dan wanita mungkin berbeda berdasarkan jenis kelamin, yang dapat menjelaskan mengapa wanita lebih rentan terhadap penyakit ini dalam beberapa kasus.
Saat penyakit Graves didiagnosis, pilihan pengobatan meliputi obat antitiroid, terapi yodium radioaktif, dan pembedahan. Perawatan ini dirancang untuk mengendalikan produksi hormon tiroid yang berlebihan dan mengurangi gejala terkait. Untuk pasien wanita, pilihan metode pengobatan perlu mempertimbangkan banyak faktor seperti usia, durasi penyakit, dan kualitas hidup.
Pemantauan klinis terhadap perubahan kondisi pasien dan pengobatan intervensi dini dapat secara efektif mengendalikan perkembangan penyakit.
Sebagai kesimpulan, tingginya insiden penyakit Graves pada wanita dapat dikaitkan dengan kombinasi hormon, kerentanan genetik, dan faktor lingkungan. Meskipun ada banyak pilihan pengobatan yang secara efektif dapat mengurangi rasa sakit pasien, pencegahan dan diagnosis dini penyakit ini tetap penting. Bagaimana penelitian di masa mendatang akan mengungkap lebih jauh misteri penyakit Graves pada wanita?