Trauma psikologis, yang juga dikenal sebagai cedera mental atau kerusakan emosional, adalah respons emosional yang disebabkan oleh peristiwa yang serius dan menegangkan. Peristiwa ini dapat mencakup cedera fisik, kekerasan seksual, atau ancaman terhadap nyawa. Apakah ini penyebab langsung trauma psikologis atau faktor yang menyebabkan orang jatuh ke dalam rasa sakit yang mendalam, perlu dipertimbangkan secara mendalam.
Reaksi jangka panjang terhadap trauma dapat mencakup kilas balik, serangan panik, insomnia, mimpi buruk, berbagai kesulitan hubungan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Orang yang berbeda bereaksi secara berbeda terhadap peristiwa yang serupa. Kebanyakan orang yang mengalami peristiwa yang berpotensi traumatis tidak mengalami trauma psikologis, meskipun mereka mungkin mengalami tekanan dan ketidaknyamanan yang parah. Namun, beberapa orang mengalami PTSD setelah mengalami peristiwa traumatis, yang membuat kita bertanya-tanya mengapa beberapa orang dapat pulih dari trauma sementara yang lain tidak?
Perbedaan risiko ini dapat dikaitkan dengan faktor perlindungan yang dimiliki individu, termasuk ketahanan emosional dan kemauan untuk mencari bantuan.
Tanda dan gejala trauma psikologis berbeda-beda pada setiap orang, begitu pula tingkat keparahannya. Sebagian orang yang mengalami trauma mengalami kembali pengalaman menyakitkan ini dengan cara yang berbeda. Rangsangan yang memicu ingatan menyakitkan ini mungkin merupakan fenomena biasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti suara atau pemandangan, yang disebut pemicu trauma. Reaksi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental mereka, tetapi juga melemahkan kemampuan mengenali diri sendiri dan mengatur emosi mereka.
Mengalami kembali rasa sakit dapat membuat orang merasa tidak aman, melemahkan rasa percaya diri, dan menyebabkan kebingungan emosional serta gangguan sosial.
Respons perilaku terhadap trauma bervariasi tergantung pada latar belakang dan keadaan individu. Sebagian orang memilih menggunakan obat-obatan untuk melarikan diri dari fluktuasi emosi, dan lingkaran setan ini membuat keadaan emosi mereka jatuh ke dalam situasi seperti katak dalam sumur. Menghadapi emosi yang kuat ini, kemarahan sebagian orang cenderung meledak tanpa peringatan, yang menyebabkan memburuknya hubungan interpersonal di sekitar mereka.
Pada saat yang sama, trauma juga dapat menyebabkan gejala fisik seperti migrain, hiperventilasi, dan mual.
Beberapa orang memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap suatu kejadian, mungkin karena gen mereka atau dampak trauma awal. Ini berarti bahwa beberapa orang terlahir dengan ketahanan yang lebih besar terhadap trauma dan lebih mampu melawan dampak trauma psikologis. Temuan tersebut membuat kita menyadari bahwa terdapat perbedaan individu yang signifikan dalam kemampuan untuk pulih.
Faktanya, hal ini juga melibatkan sistem dukungan sosial seseorang. Seseorang memiliki peluang pemulihan yang lebih tinggi jika mereka dikelilingi oleh dukungan sosial yang positif dan karenanya menerima perawatan dan konseling.
Psikoterapi dini tidak diragukan lagi penting untuk penanganan trauma. Mampu membantu orang memahami kembali dan menghadapi kejadian yang telah mereka alami melalui konseling psikologis profesional merupakan langkah penting dalam mendorong pemulihan. Selain itu, penanganan trauma juga harus mempertimbangkan cara agar individu dapat membangun kembali kognisi diri dan mengoreksi pandangan mereka terhadap dunia.
Selama proses pemulihan dari trauma, hubungan dan interaksi sosial yang baik dapat membantu orang memproses emosi mereka dengan lebih efektif.
Dalam proses mengeksplorasi pemulihan trauma, kita tidak hanya melihat bahwa teori dan praktik psikologi melampaui transmisi teknologi, tetapi juga pemikiran ulang tentang struktur mendalam psikologi manusia. Lingkungan tempat tinggal, sistem sosial, dan suasana keluarga seseorang akan memengaruhi apakah seseorang dapat pulih dengan sukses.
Dengan cara ini, trauma sering kali bukan sekadar perjalanan pribadi, tetapi kombinasi dinamika emosional dan sosial. Cara orang menanggapi trauma tidak hanya bergantung pada peristiwa itu sendiri, tetapi juga pada cara mereka mengatasinya. Hal ini membuat kita bertanya-tanya: Dukungan dan pengertian seperti apa yang dapat kita berikan satu sama lain dalam proses membangun kembali hati kita?