Henti jantung mendadak merupakan tantangan kesehatan masyarakat yang besar di seluruh dunia, yang menyebabkan kematian yang signifikan. Namun, kemajuan teknologi medis modern telah memberi kita kesempatan untuk menggunakan terapi hipotermia guna meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan prognosis pasien tersebut. Teknologi ini, yang disebut Manajemen Suhu Terarah (TTM), telah mendapat perhatian luas dalam beberapa tahun terakhir.
Ide inti terapi hipotermia adalah mengurangi kebutuhan metabolisme otak dengan menurunkan suhu tubuh pasien, sehingga mengurangi kerusakan otak yang disebabkan oleh kekurangan oksigen. Penelitian telah menunjukkan bahwa untuk setiap penurunan suhu tubuh sebesar satu derajat Celcius, laju metabolisme sel menurun sebesar 5% hingga 7%. Hal ini secara efektif dapat mencegah kematian sel yang disebabkan oleh kekurangan oksigen dan meningkatkan pemulihan.
Tidak hanya itu, menurunkan suhu tubuh juga dapat mengurangi produksi neurotransmitter seperti glutamat dan mengurangi pembentukan radikal bebas yang merupakan faktor penting penyebab kerusakan otak.
Menurut Pedoman Resusitasi Jantung Internasional 2013, hipotermia perlu dipertimbangkan pada pasien pascaresusitasi henti jantung. Penelitian menunjukkan bahwa menjaga suhu tubuh pasien antara 32 dan 34 derajat Celsius dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan fungsi otak secara signifikan, terutama bagi mereka yang gagal sadar kembali setelah henti jantung.
Tinjauan Cochrane menemukan bahwa menurunkan suhu tubuh hingga sekitar 33°C dapat mengurangi risiko kerusakan otak hingga 40%. Hal ini karena pendinginan dapat mencegah pemanasan yang umum terjadi setelah henti jantung, yang merupakan faktor utama kerusakan selanjutnya.
Ada berbagai metode yang tersedia bagi komunitas medis untuk memberikan hipotermia, termasuk selimut pendingin, tutup pendingin, dan kateter pendingin. Metode-metode ini memiliki karakteristiknya sendiri, dan metode yang paling tepat dapat dipilih sesuai dengan lingkungan medis dan kondisi pasien.
Misalnya, kateter pendingin menurunkan suhu tubuh pasien dengan mengalirkan larutan garam dingin, metode yang mencapai suhu target lebih cepat tanpa mengganggu prosedur medis lainnya.
Meskipun manfaat hipotermia jelas, ada juga beberapa potensi risiko, termasuk infeksi, pendarahan, dan ketidakseimbangan elektrolit. Selama terapi hipotermia, tim medis harus memantau kondisi pasien secara ketat untuk mengurangi risiko reaksi yang merugikan.
Dengan kemajuan teknologi, penerapan terapi hipotermia tidak lagi terbatas pada serangan jantung. Di masa mendatang, kami berharap dapat melakukan verifikasi lebih lanjut mengenai efektivitasnya di bidang medis lain, terutama pada cedera otak traumatis dan stroke.
Namun, untuk saat ini, terapi hipotermia telah menunjukkan nilai yang tak tergantikan dalam penanganan darurat serangan jantung.