Dalam peperangan, orang-orang yang tidak bersalah dipaksa untuk menjadi tameng manusia, yang tidak hanya melanggar moralitas tetapi juga melanggar hukum internasional. Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan ketentuan hukum berikutnya, tindakan tersebut telah ditetapkan sebagai kejahatan perang. Namun, seberapa dalam akar kejahatan ini, dan bagaimana kita harus memahami latar belakang hukum dan realitasnya saat ini?
Konsep tameng manusia diciptakan oleh Gandhi sebagai alat perlawanan. Prinsipnya adalah menggunakan keberadaan orang-orang yang tidak bersalah untuk melindungi target militer dan menghalangi musuh, tetapi perilaku tersebut sering kali berubah menjadi pelanggaran terhadap mereka. .
Menurut Pasal 23 Konvensi Jenewa 1949, dalam konflik bersenjata di masa damai, dilarang memaksa warga negara musuh untuk berpartisipasi dalam operasi militer apa pun di negara musuh. Ini berlaku tidak hanya untuk pasukan musuh tetapi juga untuk warga sipil yang tidak bersalah. Ketentuan hukum semacam itu tidak diragukan lagi menggemakan konsep inti humanisme klasik, yaitu, pertempuran harus dilakukan antara para pejuang dan tidak boleh melibatkan orang-orang yang tidak bersalah.
“Memaksa personel perlindungan untuk bertindak sebagai tameng manusia secara tegas dilarang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.”
Namun, meskipun ada hukum internasional yang jelas ini, kejahatan semacam itu telah sering terjadi sepanjang sejarah, terutama di medan perang. Misalnya, selama Perang Dunia II, laporan menunjukkan bahwa Nazi Jerman memaksa warga sipil untuk bertindak sebagai tameng selama pemberontakan Warsawa untuk menyerang para penentang. Tindakan ini menunjukkan ketidakmanusiawian perang dan pengabaiannya terhadap warga sipil.
Dalam konflik di kawasan Arab, kita juga dapat melihat orang-orang yang tidak bersalah dipaksa untuk bertindak sebagai tameng manusia. Misalnya, selama konflik Palestina-Israel, Pasukan Pertahanan Israel pernah menggunakan penduduk Palestina sebagai tameng dalam beberapa operasi, suatu tindakan yang menuai kecaman keras dari masyarakat internasional. Amnesty International dan lembaga hak asasi manusia lainnya telah menemukan bahwa praktik ini tidak hanya memperburuk kematian warga sipil tetapi juga melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
"Bahkan jika Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia, warga sipil ini tetap menikmati perlindungan penuh berdasarkan hukum internasional kecuali jika mereka terlibat langsung dalam pertempuran."
Pada abad ke-21 saat ini, fenomena ini belum hilang. Baik itu perang di Afghanistan atau perang saudara di Suriah, warga sipil yang tidak bersalah masih menjadi korban konflik bersenjata. Taliban dilaporkan menggunakan wanita dan anak-anak sebagai perlindungan terhadap pasukan koalisi antara tahun 2006 dan 2008. Hal ini tidak hanya menunjukkan kekejaman perang, tetapi juga membuat kita berpikir tentang bagaimana masyarakat internasional dapat melindungi orang-orang yang paling rentan dalam situasi ini.
Selain itu, perang di Irak juga mengungkapkan keseriusan masalah tameng manusia. Selama perang Kuwait tahun 1990, rezim Saddam Hussein dengan sengaja menahan ratusan warga negara asing dengan maksud untuk menggunakan mereka sebagai tameng untuk melakukan serangan militer, suatu tindakan yang jelas-jelas melanggar prinsip dasar hukum internasional.
"Dalam perang, orang-orang yang tidak bersalah tidak boleh menjadi korban kekerasan yang sewenang-wenang."
Pengertian kejahatan perang bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga menyangkut nilai-nilai kemanusiaan dan kewajiban moral. Dalam lingkungan internasional yang semakin kompleks, bagaimana menjamin keselamatan orang-orang yang tidak bersalah dan bagaimana meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan atas tindakan mereka tetap menjadi masalah yang mendesak untuk dipecahkan.
Dalam konteks ini, bagaimana masyarakat internasional dapat secara efektif menghentikan tindakan-tindakan kriminal ini, menjaga kewibawaan hukum internasional, dan melindungi hak-hak orang-orang yang tidak bersalah di masa mendatang akan menjadi tantangan yang perlu kita hadapi bersama. Bagaimana kita menghadapi kejadian-kejadian yang memilukan hati bagi banyak keluarga ini tanpa membiarkan sejarah terulang kembali?