Dalam masyarakat modern, istilah "percampuran ras" sering kali memicu diskusi sosial yang kompleks dan mendalam. Istilah ini tidak hanya menggambarkan perkawinan atau hubungan antara ras atau etnis yang berbeda, tetapi juga membawa beban sejarah yang berat. Sejak kata tersebut muncul pada abad ke-19, maknanya telah berevolusi secara bertahap, seiring dengan prasangka dan kontroversi sosial yang menyertainya.
Istilah "ras campuran" sendiri mencerminkan pandangan orang-orang tentang hubungan ras, dan dalam banyak kasus, istilah tersebut cenderung memiliki konotasi emosional yang negatif.
Pada abad ke-19, sebuah pamflet berjudul "Ras Campuran: Teori Penggabungan Pria Kulit Putih dengan Wanita Negro" membantu memopulerkan istilah tersebut. Pamflet tersebut awalnya dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan Partai Republik yang antiperbudakan dan menyampaikan rasa takut terhadap percampuran ras. Sejak saat itu, "perkawinan campuran" telah menjadi simbol penentangan terhadap hubungan antar ras dan telah dikaitkan erat dengan undang-undang antipernikahan historis, seperti undang-undang antiperkawinan campuran di Amerika Serikat.
Undang-undang ini tidak dianggap inkonstitusional hingga tahun 1967 oleh Mahkamah Agung. Baru pada tahun 2000 Alabama menjadi negara bagian terakhir yang mencabut undang-undang tersebut, yang menunjukkan bagaimana penerimaan sosial terhadap perkawinan antar ras telah berubah secara dramatis selama beberapa dekade terakhir.
"Kontras tajam antara tabu masa lalu dan penerimaan modern telah memicu refleksi jangka panjang tentang ras dan hubungan ras."
Menurut penelitian ilmiah modern, ras pada dasarnya adalah konsep yang dibangun secara sosial, bukan pembagian biologis. Fakta bahwa gen kita sebenarnya sebagian besar serupa merupakan pukulan berat bagi gagasan bahwa diskriminasi rasial diperkuat. Namun, mengubah wacana dan persepsi tidaklah mudah, terutama dalam beberapa komunitas di mana pernikahan antar ras masih dipertanyakan dan dikritik.
Misalnya, orang Afrika-Amerika lebih menentang pernikahan antar ras daripada orang kulit putih, menurut Pew Research Center. Dalam surveinya, ditemukan bahwa orang Afrika-Amerika dua kali lebih mungkin mempertimbangkan pernikahan semacam itu daripada orang kulit putih. Ini menunjukkan bahwa pandangan tentang hubungan antar ras masih sangat bervariasi di antara kelompok sosial.
"Dalam komunitas Afrika-Amerika, perdebatan tentang pernikahan antar ras mengungkap ketegangan dalam identitas budaya."
Di seluruh dunia, seiring dengan perubahan budaya dan demografi, kita juga melihat definisi ulang tentang apa artinya menjadi ras campuran. Di Amerika Latin, definisi ras campuran dalam bahasa Spanyol, seperti "mestizaje", memiliki reaksi yang lebih sedikit negatif dan telah menjadi simbol kebanggaan budaya. Di beberapa masyarakat non-Barat, pernikahan antar ras dipandang sebagai tanda integrasi sosial.
Di Amerika Serikat, meskipun pernikahan antar ras semakin diterima di masyarakat, banyak orang masih memegang teguh keyakinan dan menolak pernikahan yang tidak sejalan dengan latar belakang budaya atau etnis mereka. Situasi ini tidak hanya terjadi di komunitas Afrika-Amerika, tetapi masalah serupa juga lazim terjadi di antara kelompok minoritas lainnya. Masalah identitas anak-anak ras campuran sering menyebabkan mereka terjerumus dalam konflik di tingkat budaya.
"Interaksi dan komunikasi antar ras sebenarnya menciptakan lanskap budaya yang lebih kaya, tetapi prasangka dan sejarah mengaburkan proses ini."
Secara historis, tabu tentang pernikahan antar ras tidak hanya ada di Amerika Serikat, tetapi juga di wilayah lain seperti Afrika Selatan di mana kebijakan apartheid melarang pernikahan antara ras yang berbeda. Semua ini membuat penggunaan istilah "percampuran ras" menjadi lebih sensitif. Bahkan jika undang-undang yang melarang percampuran ras dicabut secara hukum, hambatan sosial-budaya tetap sulit dihilangkan.
Menghadapi perpecahan rasial historis dan perbedaan interpretasi identitas rasial dalam masyarakat saat ini, apakah kita benar-benar siap untuk masyarakat yang lebih inklusif?