Archive | 2021

Bentuk Hunian Informal: Studi Kasus tentang Hunian Bertahap di Kampung Melayu Semarang

 
 

Abstract


Informal settlements dominate the structures of cities in the world and become the residence for urban residents. For more than 50 years efforts have been made to deal with the existence of informal settlements, but the challenges of informal settlements cannot be overcome simply by eviction. The Government has made efforts to improve the physical quality of informal settlement in Kampung Melayu Semarang through the KOTAKU program which focuses on managing settlements to conform with the predetermined standards. The program should accommodate the spatial needs of the population so that it is necessary to understand the location in depth to be able to find out the spatial needs of the population as seen from the housing provision form. This study aims to examine the form of informal settlements in Kampung Melayu which focuses on informal settlements on Melayu Tengah street. The research method used is qualitative which collecting data through interview, observation and documentation. Data were analyzed using content analysis and descriptive analysis. This research can improve the readers and government knowledge regarding the form of informal design, so that it becomes input for better planning and development that relevant to the needs of resident. The results show that the form of informal settlement in Kampung Melayu Semarang are done by extending space, attaching, replacing and infilling, deviding space, and connecting space. Keyword: Incremental Housing; Informal Settlements; Housing Condition; Public Space. Daraz, Kurniawati / Ruang 47 Ruang (Vol.7 No. 1, 2021, 46-55) 1. Pendahuluan Hunian informal mengakomodasi setidaknya 1 milyar orang di dunia, dimana lebih dari 60% kawasan hunian di Sub-Sahara Afrika dan Asia merupakan informal. Hunian informal telah menjadi tantangan selama 50 tahun terakhir dan telah dilakukan upaya peningkatan yang berfokus untuk menciptakan kawasan yang sesuai dengan standar. Akan tetapi, kondisi yang ada di hunian informal tidak dapat diatasi dengan mudah hanya dengan penggusuran ataupun pemindahan. (Kamalipour & Dovey, 2019) dalam penelitiannya mengemukakan berbagai bentuk konstruksi hunian informal terbentuk atas upaya penduduk untuk meningkatkan kondisi huniannya secara bertahap. Saroj et al., (2019) juga menyebutkan jika penduduk di hunian informal cenderung membangun huniannya sendiri sesuai dengan gaya hidupnya, yang kemudian menghasilkan lingkungan hunian yang tidak teratur. Kampung Melayu Semarang terletak di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara. Kampung Melayu telah berkembang sejak abad ke-17 dengan mengikuti struktur kota di zaman kolonial yang terbagi atas etnis-etnis (Wihardyanto & Ikaputra, 2019). Terdapat 17% hunian informal di Kampung Melayu masih belum memiliki hak milik dan masih terdapat juga 29% bangunan rumah semi permanen dan 6% bangunan rumah non-permanen. Penelitian terdahulu oleh Febbiyana & Suwandono (2016), menunjukkan bahwa sebagian besar lingkungan hunian di Kampung Melayu cenderung terkesan sempit dan kurang akan tempat publik dan Ruang Terbuka Hijau. Hunian informal yang dihuni oleh penduduk pendatang, tidak memiliki hak milik, dan dibangun menggunakan material yang belum permanen dapat ditemukan di sepanjang Jalan Melayu Tengah. Pemerintah Kota Semarang telah berupaya melakukan peningkatan kualitas fisik di Kampung Melayu Semarang melalui program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang berfokus pada peningkatan kualitas fisik lingkungan untuk mengatasi hunian kumuh yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Program tersebut berupaya untuk mengatur dan menata kawasan agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Akan tetapi, program tersebut seharusnya tidak hanya mengatur dan menata kawasan saja, tetapi juga dapat mengakomodasi kebutuhan spasial penduduk sebagaimana yang disebutkan oleh Bhatt et al., (1990), jika upaya peningkatan kualitas permukiman informal perlu lebih mengakomodasi kebutuhan spasial penduduk daripada menciptakan kawasan yang sesuai dengan standar. Mengingat bahwa kondisi spasial di hunian informal terbentuk dari adanya proses peningkatan hunian secara bertahap yang didasari pada kebutuhan spasial penduduk. Proses peningkatan hunian yang tanpa disertai dengan perencanaan ini dapat menghasilkan kawasan yang kumuh (Kamalipour, 2020). Untuk itu perlu adanya pengkajian mendalam tentang bentuk hunian bertahap yang dilakukan oleh penduduk di Kampung Melayu dengan mempertimbangkan kecenderungan ruang yang fleksibel dan dinamis, yang berubah sesuai dengan kebutuhan spasial penduduk. Penelitian yang bertujuan untuk mengkaji bentuk hunian bertahap Kampung Melayu Semarang ini berfokus pada hunian di sepanjang Jalan Melayu Tengah, sebagai representasi dari hunian informal di Kampung Melayu. Rumah di Jalan Melayu Tengah menjadi fokus penelitian karena tidak memiliki hak milik dan tidak termasuk dalam sejarah perkembangan Kampung Melayu, penduduk melakukan peningkatan bertahap pada huniannya yang mengokupansi ruang Jalan Melayu Tengah dan ruang drainase. Terdapat 22 rumah informal yang didirikan oleh para penduduk pendatang di sepanjang Jalan Melayu Tengah. Hunian informal di Jalan Melayu Tengah berkembang secara spontan karena kedatangan penduduk dari luar yang menetap lama hingga generasi berikutnya. Perkembangan hunian awalnya hanya berupa bedeng sebagai hunian sementara dan kemudian hunian tersebut semakin berkembang dengan sendirinya. Penduduk tidak memiliki hak milik atas lahan hunian, rumah hunian didirikan illegal dengan menempel pada bagian belakang bangunan rumah milik etnis Tionghoa yang sudah tidak ditempati. 48 Daraz, Kurniawati / Ruang Ruang (Vol.7 No. 1, 2021, 46-55) Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian (Citra Google Earth, 2020)

Volume 7
Pages 46-55
DOI 10.14710/RUANG.7.1.46-55
Language English
Journal None

Full Text