Archive | 2019
Analisis bagaimana mengatasi permasalahan stunting di Indonesia
Abstract
Latar belakang Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah masih tingginya anak balita pendek ( Stunting ). Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan karena asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama sebagai akibat dari pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan ( Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H.,2017). Indonesia merupakan negara dengan prevalensi gizi kurang pada balita cukup tinggi. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 dan 2013, dan Pemantauan Status Gizi Tahun 2015 dan 2017, menunjukan prevalensi stunting masih tinggi dan tidak menurun mencapai batas ambang WHO. Riskesdas Tahun 2010 mencapai 35,6% dan Tahun 2013 mencapai 37,2 %, \xa0Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2015 (29.0%) dan Tahun 2017 (29,6 %) (Riset Kesehatan Dasar.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI,2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013 menunjukkan prevalensi stunting mencapai 37,2%. Di sisi lain, hasil riset Bank Dunia (2017) menggambarkan kerugian akibat stunting mencapai 3-11% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dengan nilai PDB 2015 sebesar Rp11.000 Triliun, kerugian ekonomi akibat stunting di Indonesia diperkirakan mencapai Rp300-triliun Rp1.210 triliun per tahun. Sedangkan pada Balita Stunting (Tinggi Badan per Umur). Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Stunting pada balita dapat menyebabkan menurunnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Retardasi pertumbuhan atau stunting pada anak-anak di indonesia terjadi sebagai akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi dan memengaruhi 30% dari anak-anak usia dibawah lima tahun (UNSCN. Fifth report on the world nutrition situation: Nutrition for improved development outcomes. UNSCN, Geneva, Switzerland. 2004). Tujuan Paper ini ingin menganalisis dan menunjukkan serta mencari permasalahan stunting di indonesia dari sudut pandang akademisi. Dan juga mencoba menawarkan solusi solusi serta strategi untuk mengatasi maslah stunting di indonesia. tetapi perlu dukungan semua sektor serta perencanaan jangka panjang. Metode Metode dalam penulisan abstrak ini adalah metode argumentative dengan telaah beberapa jurnal sebagai acuan. Serta mencoba menganalisis Kebijakan kebijakan pemerintah terkait dengan perbaikan gizi diantaranya yaitu: (1) Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi, (2) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Sehat, (3) Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi. Hasil Berdasarkan penelitian yang di lakukan Aryastam NK., Tarigan I, bahwa menunjukan Prevalensi Balita stunting di Indonesia cukup tinggi. Distribusinyapun tidak merata, antara desa kota maupun antar provinsi. Hasil-hasil survey yang pernah dilakukan di Indonesia dari tahun 1992 hingga 2013, atau selama sekitar 20 tahun, penurunan prevalensi stunting hanya sebesar 4%. Bahkan proporsi sekitar 37% tampak stagnan dari tahun 2006 hingga 2013. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, kesenjangan antar provinsi tampak cukup lebar, yakni proporsi 20% (Yogyakarta) hingga 48% (NTT). Stunting sebagai masalah gizi yang bersifat kronis tidak dapat dipisahkan dengan masalah gizi kurang secara umum. Masalah gizi kurang (BB/U <-2 SD) menurut data Riskesdas menunjukkan proporsi yang cukup stagnan, yaitu 18,4% (2007); 17,9% (2010); dan 19,6% (2013). Dari berbagai literature yang penulis temui menunjukan bahwa permasalahan stunting di indonesia di sebabkan akibat Faktor Multi Dimensi. Diantaranya yaitu : Praktek pengasuhan yang tidak baik : (a) Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan,(b) 60 % dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif, (c) anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makana Pengganti ASI Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan anc (ante natal care), post natal dan pembelajaran dini yang berkualitas: (a) ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai, (b) Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013) berdasarkan data risnakes, (c) Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi Kurangnya akses ke makanan bergizi: (a) ibu hamil anemia, (b) makanan bergizi mahal. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi : (a) rumah tangga masih BAB diruang terbuka, (b) rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Kesimpulan Ada beberapa rekomendasi yang penulis sarankan sebagai berikut : Melakukan pembentukan kebun gizi di setiap desa desa dengan pemanfaatan anggaran\xa0 dana desa yang telah di gelontorkan oleh pemerintah. Lewat peraturan yang dikeluarkan tersebut, Warga Desa bisa terlibat aktif menghadirkan aneka kegiatan yang berhubungan upaya penanganan stunting yang berfokus pada kebun gizi pada tiap tiap desa dengan pendekatan keluarga. Sehingga Kehadiran Dana Desa tidak hanya berfokus pada Pondok Bersalin Desa (Polindes),maupun (Posyandu), namun berfokus pada pembentukan kebun gizi dengan pendekatan keluarga dengan berbasis pemberdayaan masyarakat sehingga bisa dilakukan edukasi edukasi mengenai gizi pada wadah tersebut. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 harus disikapi dengan koordinasi yang kuat di tingkat pusat dan aturan main dan teknis yang jelas di tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga pelaksana ujung tombak. Diseminasi informasi dan advocacy perlu dilakukan oleh unit teknis kepada stake holders lintas sektor dan pemangku kepentingan lain pada tingkatan yang sama. Sehingga Dibutuhkan upaya yang bersifat holistik dan saling terintegrasi. Mendorong Kebijakan Akses Pangan Bergizi, akses air bersih dan sanitasi serta melakukan Pemantauan dan Evaluasi secara berkala. Memperkuat survailens gizi masyarakat sehingga dapat mendeteksi secara dini permasalahan permasalahan gizi yang muncul di masyarakat.