Archive | 2021

Membaca Rasionalitas Masyarakat Islam Aboge dalam Penggunaan Sikep Penglaris di Dusun Tumpangrejo Kabupaten Malang

 
 
 

Abstract


Tulisan ini menggali rasionalitas penggunaan tradisi sikep penglaris masyarakat Islam Aboge di dusun Tumpangrejo kabupaten Malang dalam perspektif Webberian. Pendekatan deskriptif kualitatif digunakan dalam artikel ini dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Analisis data dengan mendeskripsikan secara mendalam\xa0 data yang diperoleh melalui\xa0 reduksi, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Penelitian menemukan bahwa rasionalitas tradisional dan rasionalitas instrumental mengemuka dalam penggunaan sikep penglaris. Salah satu rasionalitas tradisional adalah sikep penglaris merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang sebelum membuka usaha. Tradisi ini menjadi kesadaran kolektif masyarakat Aboge. Secara instrumental, pilihan menggunakan sikep penglaris karena munculnya ketakukan akan gangguan magis yang menyebabkan kebangkrutan atau \xa0usahanya tidak berjalan seperti yang diharapakan. Menariknya antara satu sikep penglaris dengan lainnya memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut karena perbedaan guru spiritiual sekaligus media sikep penglaris. Bertahannya sikep penglaris tidak terlepas dari proses konstruksi yang terus berjalan secara dialektis dalam kehidupan sosial masyarakat Tumpangrejo.\xa0\xa0\xa0\n\xa0\nThis paper explores the rationality of using the tradition of sikep penglaris in the Islamic community of Aboge in Tumpangrejo, Malang Regency, from a Webberian perspective. A qualitative descriptive approach is used with data collection techniques through observation and interviews in this article. Data analysis by describing in depth the data obtained through reduction, interpretation, and drawing conclusions. Research founds that traditional rationality and instrumental rationality come to the fore in the use of sikep penglaris. One of the traditional rationalities is that sikep penglaris is a tradition passed down from generation to generation before opening a business. This tradition has become the collective consciousness of the Aboge people. Instrumentally, the choice using sikep penglaris due to the fear of magical interference that will cause bankruptcy or the business does not well as expected. Interestingly, there are differences between one sikep penglaris cycle and another. This difference is due to differences in spiritual teachers as well as sikep penglais media. The persistence of sikep penglaris cannot be separated from the construction process that continues in the social life of the Tumpanrejo community dialectically.

Volume 5
Pages 30-42
DOI 10.22219/SATWIKA.V5I1.15654
Language English
Journal None

Full Text