Archive | 2019

Pola Penguasaan Tanah Sawah Secara Gilir Ganti dalam Perspektif Hukum Agraria

 
 
 

Abstract


Gilir ganti sawah system is model of authority and ownership of land base on adat law in district Kerinci, Jambi. The article analize outhority and ownership model of fild rice land with alternate manner in agrarian law perspective. This research has done by observation, interview, literature study. The result of research point out, sistem gilir ganti sawah is side effect of kinship and legacy/ inheritance system to differentiate between son and dauhtor. The wet rice fild land is done and takken by daughter, but the regulation by tengganai (brother from mother line). More and more heirees, make more and more duration of waiting. For the third level or more, sistem gilir ganti sawah to be ineffective, unproductive, and there is no law certenty and easy conflict. Base on agrarian law perspective,\xa0 the authority and ownership make difficult to determine the owner, so immposible to register for secticate. But this model stil stand and has been stand up with the reason as be indication that they are one clan. \nAbstrak \nSistem gilir ganti sawah merupakan pola penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan hukum adat di wilayah Kerinci, Jambi. Artikel ini membahas pola penguasaan dan pemilikan tanah sawah secara gilir ganti dalam perspektif hukum agraria. Penelitian ini dilakukan melalui pengamatan, wawancara, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan, sistem gilir ganti sawah dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan kewarisan yang membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Tanah sawah dikerjakan dan dinikmati oleh anak perempuan, sedangkan pengaturannya oleh tengganai (saudara laki-laki dari pihak ibu). Semakin banyak ahli waris perempuan, maka semakin lama masa tunggu. Pada tingkat lapisan ketiga atau lebih, sistem gilir ganti sawah menjadi tidak efektif, tidak produktif, tidak memiliki kepastian hukum, dan rawan akan konflik. Dari perspektif hukum agraria nasional, pola penguasaan tanah secara demikian menyebabkan sulit untuk menetapkan subjek hukum pemiliknya, sehingga tidak memungkinkan untuk didaftarkan guna mendapatkan sertifikat. Meski begitu, sistem ini masih tetap bertahan dan dipertahankan dengan alasan sebagai penanda satu keturunan keluarga.

Volume 1
Pages 245-265
DOI 10.22437/UJH.1.2.245-265
Language English
Journal None

Full Text