Archive | 2019

BENTUK PENYAJIAN TARI LUKAH GILO DI MASYARAKAT SIJUNJUNG, SUMATERA BARAT

 

Abstract


Tari Lukah Gilo merupakan salah satu kesenian yang hidup dan berkembang di Sijunjung, Sumatera Barat yang syarat dengan kekuatan supranatural dan unsur magis. Tari ini menggunakan lukah (bubu) sebagai properti utamanya. Pada dasarnya, tarian ini berupa kontrol atau pengendalian lukah (bubu). Keunikan pada tarian ini terletak pada properti lukah yang dapat menari dan bergerak sendiri setelah dibacakan mantera oleh kulipah, sehingga lukah tersebut akan melompat dan juga menari tanpa digerakkan oleh seseorang. Masalah dalam penelitian ini adalah bentuk penyajian tari Lukah Gilo di masyarakat Sijunjung, Sumatera Barat. Dalam membedah masalah yang ada, penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sebagai konteks dalam melihat keberadaan tari Lukah Gilo, yang dipengaruhi oleh aspek sosial, budaya, sejarah, latar belakang dan masyarakat pendukungnya. Buku Jacqueline Smith “Dance Composition” A Practical Guide For Teachers” terjemahan Ben Suharto Komposisi Tari, Petunjuk Praktis Bagi Guru sebagai teks, untuk membedah bentuk penyajian tari dengan melihat analisis bentuk penyajian tari Lukah Gilo melihat tiga tahap proses pertunjukan, yaitu (1) proses persiapan yang meliputi mempersiapkan lukah, lukah direndam, lukah dipakaikan baju dan dirias, (2) pelaksanaan atau pementasan dipimpin oleh kulipah dengan menghadirkan jin untuk meng-gilo-kan lukah, (3) penutup untuk mengembalikan para jin ke tempat semula saat dipanggil. \nBerdasarkan hasil yang diperoleh, penyajian tari Lukah Gilo menarik dikarenakan tarian ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, akan tetapi juga untuk menguji ketangkasan dari anak-anak muda dan masyarakat Minang dalam mengontrol lukah yang sudah diberi mantera. Bentuk penyajian juga telah mengalami banyak perkembangan, terlihat pada penggunaan kostum dan alat musik sebagai iringannya. Meskipun bertentangan dengan agama Islam, namun tari Lukah Gilo tetap berada pada undang-undang adat, yaitu adat nan diadatkan sebagai warisan nenek moyang, dan tidak bertentangan dengan falsafah adat Minangkabau “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.

Volume 10
Pages 73-90
DOI 10.24821/JOGED.V13I1.2809
Language English
Journal None

Full Text