Archive | 2019

The Potential of Acacia Auriculiformis Leaf Extracts as an Antifungal of Candida albicans and Identification of the Compounds

 
 

Abstract


Infections caused by Candida albicans have been increased dramatically worlwide. Acacia auriculiformis is an Indonesian Indigenous plant which has limited use only for fiber needs, especially for paper industry raw materials and as a protective plant. The use of Acacia auriculiformis as a traditional medicine, especially as an antifungal, is rarely reported. The purpose of this study was to determine the potential of acacia leaf extract (Acacia auriculiformis) as an antifungal against Candida albicans growth and identification of its compound class. The potential of acacia leaf extract as antifungal was tested by Kirby-Bauer method using paper discs and identification of acacia leaf compound class was carried out by phytochemical test. The results showed that acacia leaf extract (Acacia auriculiformis) concentration of 1%, 5%, 10% have potential to be an antifungal against the growth of Candida albicans and the methanol extract compound of acacia leaves consists of saponins, tannins, alkaloids, flavonoids, steroids and phenolics. Keyword: Candida albicans, Acacia auriculiformis, antifungal JURNAL METAMORFOSA 6 (2): 143-147 (September 2019) eISSN: 2655-8122 144 PENDAHULUAN Infeksi merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan di Indonesia. Salah satu spesies fungi yang sering menyebabkan infeksi adalah Candida albicans (Wahyuni, 2016). Candida albicans merupakan fungi golongan khamir yang ditemukan pada manusia dan kebanyakan diisolasi pada penderita sariawan dan HIV/AIDS. Kasus infeksi karena jamur Candida mengalami peningkatan secara global karena meningkatnya infeksi HIV, diabetes mellitus, konsumsi antibiotik dan faktor usia (Salehei et al., 2012). Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan semakin banyak ditemukan obat antifungi dalam bentuk topikal ataupun sistemik sehingga dapat menurunkan prevalensi penyakit infeksi jamur Candida. Akan tetapi dewasa ini masyarakat lebih banyak tertarik menggunakan pengobatan tradisional karena dipercaya memiliki efek samping yang lebih rendah dan tidak dapat menimbulkan efek resistensi dibandingkan dengan obat sintetis (Jawetz et al., 2005). Indonesia kaya akan berbagai jenis tanaman sebagai sumber obat-obatan. Salah satu tanaman yang berasal asli dari Indonesia yaitu di bagian selatan Papua adalah Acacia auriculiformis (Hendrati, 2014). Tanaman ini mudah dijumpai di Bali dan lebih banyak dimanfaatkan sebagai tanaman upakara. Sejauh ini pemanfaatan tanaman ini hanya masih sebatas memenuhi kebutuhan serat terutama untuk bahan baku industri kertas dan sebagai tanaman pelindung. Eksplorasi pemanfaatan tanaman Acacia auriculiformis sebagai obat tradisional khususnya sebagai antifungi masih jarang dilaporkan. Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas maka perlu dilakukan penelitian terkait tentang potensi ekstrak daun akasia sebagai antifungi pada biakan Candida albicans dan identifikasi kandungan golongan senyawanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ekstrak daun akasia (Acacia auriculiformis) sebagai antifungi terhadap pertumbuhan Candida albicans dan identifikasi golongan senyawanya. BAHAN DAN METODE Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, erlenmeyer, pinset, autoklaf, timbangan analitik, pipet ukur, hot plate, pipet tetes, inkubator, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri, kapas, cotton swab, aluminium foil, sarung tangan, bunsen, jarum ose, dan Spektrofotometer Thermo Scientific Genesys 20. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun akasia yang diambil dari pekarangan warga Desa Kutuh Kuta Selatan Badung Bali, metanol, jamur Candida albicans yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, larutan NaCl 0,9%, alkohol 70%, gula, kentang, agar, akuades, kertas saring, tisu, I2, KOH, HCl, HCl pekat, serbuk Mg, pereaksi Mayer, pereaksi FeCl3, pereaksi LibermanBurchard, dan ketokonazol. Potensi antifungi dengan metode Kirby-Bauer Kertas cakram steril disediakan sebanyak 25 buah. Masing-masing 5 buah direndam dalam cawan petri yang berisi ekstrak metanol daun akasia konsentrasi 1%, 5%, 10%, metanol dan obat jamur sintetis ketokonazol selama 30 menit. Pembuatan suspensi jamur uji dilakukan dengan diambil Candida albicans dengan cotton swab dan dimasukan ke dalam tabung reaksi yang berisi larutan NaCl 0,9% sebanyak 3 ml, kemudian dicampur hingga homogen ditandai dengan cairan berubah menjadi keruh. Jamur ditanam pada masing-masing cawan petri berisi media Potato Dextrose Agar (PDA) dengan cara suspensi jamur diambil menggunakan cotton swab untuk masingmasing cawan petri. Setelah permukaan media mengering, cakram yang telah direndam diletakkan masing-masing pada permukaan media PDA dengan pinset. Masing-masing cawan petri diinkubasi pada suhu 37°C, selama 48 jam kemudian diamati zona hambat yang terbentuk. Zona hambat yang terbentuk di sekitar kertas cakram diukur diameter vertikal dan diameter horizontal (Gambar 1). Selanjutnya zona hambat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Bonev et al., 2008): JURNAL METAMORFOSA 6 (2): 143-147 (September 2019) eISSN: 2655-8122 145 Davis dan Stout membuat kategori untuk aktivitas penghambatan berdasarkan diameter zona hambat sebagai berikut: 1. Zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. 2. Zona hambat 11-20 mm dikategorikan kuat. 3. Zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang 4. Zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan lemah Gambar 1. Pengukuran diameter zona hambat

Volume 6
Pages 143
DOI 10.24843/metamorfosa.2019.v06.i02.p02
Language English
Journal None

Full Text