Archive | 2019

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KONTRAKTOR ATAS KEGAGALAN BANGUNAN BERDASARKAN PRINSIP SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

 

Abstract


Pembangunan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun tidak luput dari kerugian baik kerugian materiil maupun korban jiwa jika tidak dibangun sebagaimana mestinya. Salah satunya adalah runtuhnya jembatan kutai kartanegara yang menyebabkan orang meninggal dunia dan luka-luka. Kegagalan bangunan merupakan salah satu akibat yang dapat membahayakan keselamatan publik maupun kerugian negara. Kegagalan bangunan ini diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi mulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 67. Selain itu kegagalan bangunan diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yaitu pada Bab V Pasal 34 sampai dengan Pasal 48. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang Jasa Konstruksi hanya dapat dikenakan pada individu yang secara langsung melaksanakan pekerjaan konstruksi dan tidak pada penyedia jasa konstruksi berupa korporasi karena untuk memidana korporasi membutuhkan kejelasan kepada siapa sanksi akan dikenakan. Berdasarkan hasil analisis bahwa berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana, dengan adanya pergeseran subjek hukum dari fysieke dader ke functionale dader maka korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban. Hal tersebut juga didukung dengan adanya teori-teori serta doktrin-doktrin tentang pertanggungjawaban korporasi. Dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016\xa0 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, dimana hal ini dimaksudkan sebagai upaya memberikan kepastian hukum dan mendorong efektivitas dan optimalisasi atas hukum acara dalam penangangan perkara pidana dengan pelaku korporasi dan/atau pengurus korporasi.

Volume 2
Pages 500-516
DOI 10.29313/aktualita.v2i2.4989
Language English
Journal None

Full Text