Archive | 2019

Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) Terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

 

Abstract


Didalam\xa0\xa0 Kitab\xa0\xa0 Undang-Undang\xa0 Hukum\xa0 Acara\xa0\xa0 Pidana (KUHAP) tidak dibahas ihwal pentingnya melindungi saksi dan korban. Pengaturan perlindungan demikian hanya kita temukan dalam Undang-undang nomor 31 tahun 2014 atau yang berkaitan dengan upaya pengungkapan tindak pidana tertentu, seperti pelanggaran ham berat, kekerasan dalam rumah tangga atau korupsi. Peraturan perundang-undangan tersebutlah yang memperkenalkan pranata hukum\xa0 tersebut\xa0 ke\xa0 dalam\xa0 sistem peradilan\xa0 di\xa0 Indonesia.\xa0 Tulisan ini akan menelaah secara ringkas tempat dan kedudukan pranata hukum perlindungan saksi dan saksi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Fokus kajian akan diberikan pada ratio legis perlunya perlindungan terhadap saksi dan korban. Tulisan ini akan dimulai dengan paparan tentang pentingnya kesaksian (dari saksi maupun saksi korban) dalam pengungkapan kebenaran dan bila perlu upaya menjatuhkan pidana. Ini yang menurut penulis adalah makna dari penempatan reaksi pidana sebagai ultimum remedium. \nRumusan masalah dalam penelian ini adalah: Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower)? Hambatan-hambatan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang\xa0 Perlindungan Saksi dan Korban dalam upaya pemberian perlindungan hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower)? Rumusan masalah tersebut dikaji secara mendalam dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang didasarkan pada hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dengan cara mengklasifikasikan dua sumber data yakni data primer dan data sekunder berupa undang-undang atau Peraturan lainnya yang masih ada hubungannya dengan masalah yang diteliti pada penulisan tesis sebagai pijakan teoriserta buku-buku/bahan-bahan lain yang masih memiliki keterkaitan dengan judul penelitian ini sebagai bahan sumber sekundernya. \nAdapun kesimpulan dari penelitian ini adalah \n \n \n \n \n \n \n \n \n75 \n \n \n \n \n\xa0 \n \n \n \n: Pertama, Upaya perlindungan hukum terhadap saksi pengungkap fakta (whistleblower) hingga saat ini belum mendapatkan payung hukum baik itu dari Undang-Undang Nomer 31 Tahun 2014\xa0 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban atau dari peraturan lain yang secara spesifik mengatur tentang jenis-jenis tindakan yang dilarang, bertentang dan yang membahayakan kepentingan publik. Peraturan tentang tindakan yang dimaksud masih menyebar dalam sejumlah undang-undang dan peraturan yang ada. Beberapa undang-undang inilah yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi seorang whistleblower guna menentukan tindakan yang memiliki kehendak untuk diungkap masuk dalam kategori dilarang, bertentangan pula dan membahayakan kepentingan publik. Kedua, Sementara itu hambatan yang dialami dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap whistleblower dalam proses peradilan pidana adalah; capacity building Lembaga Perlindungan Saksi yang terbentuk dari tahun 2006 paca diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2006 belum mempunyai kekuatan hukum yang penuh dalam memberikan perlindungan hukum bagi seorang saksi pengungkap fakta (whistleblower) dan kerjasama antara lembaga perlindungan saksi dan korban dengan lembaga-lembaga yang terkait belum terjalin dengan baik sehingga perlindungan saksi belum terlaksana secara kompreherensif

Volume 8
Pages 147-156
DOI 10.32503/mizan.v8i2.682
Language English
Journal None

Full Text