Archive | 2021

RE-INVENTING GINI RASIO DATA PENGELUARAN (KONSUMSI): KETIMPANGAN HARGA (GINI BIAS) ATAU KETIMPANGAN KESEJAHTERAAN (GINI RIIL)

 
 

Abstract


Indeks gini menjadi salah satu sasaran pokok kinerja kabinet Presiden Jokowi, tertuang dalam RPJMN 2015-2019 dan RPJMN 2020-2024. Untuk memenuhi indikator indeks gini tersebut, digunakan data pengeluaran bersumber Susenas sebagai pendekatan dari data pendapatan. Hal ini sesuai rekomendasi United Nations pada negara-negara yang pencatatan keuangannya masih rendah. Data pengeluaran yang digunakan dalam Susenas selama ini mencatat konsumsi makanan dan bukan makanan pada rumah tangga. Sementara kita ketahui bersama dengan ciri Indonesia sebagai negara kepulauan, faktor luasnya dan hambatan geografis, menjadi salah satu kendala distribusi pasokan kebutuhan masyarakat. Sehingga besaran rupiah yang sama, belum tentu dapat dibelanjakan dengan jumlah yang sama antar wilayah di Indonesia. Kondisi hasil bias karena disparitas ini akan terjadi jika menggunakan hasil data pengeluaran Susenas secara langsung seperti berlaku selama ini. Bias terutama karena indeks gini digunakan untuk melihat kondisi ketimpangan kesejahteraan di masyarakat. Untuk itu maka perlu dilakukan upaya mengurangi dampak bias disparitas terutama harga pada data pengeluaran Susenas. Agar diperoleh hasil indeks gini yang menggambarkan kondisi ketimpangan kesejahteraan di masyarakat sebenarnya. \nMetode yang digunakan untuk mengurangi bias dari data pengeluaran Susenas ini yaitu dengan melakukan konversi data pengeluaran Susenas ke dalam satuan yang seragam kemampuan daya belinya di semua wilayah, dimana disparitas terjadi. Beberapa opsi pilihan sebagai konversi dilakukan, namun pilihan akhir pada garis kemiskinan (GK). Pilihan GK sebagai konversi data pengeluaran Susenas, dikarenakan keterbandingan waktu, bundle consumption, bebas nilai serta kontinu. GK sendiri merupakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach). Sehingga konversi data pengeluaran dengan GK akan relevan di semua strata kesejahteraan, karena baik GK maupun data pengeluaran dari konsumsi berlaku hukum yang sama. Selain pembuktian secara teoritis GK sebagai konversi daya beli yang sama untuk pengeluaran Susenas dalam mengukur ketimpangan kesejahteraan. Dari hasil kajian ini diperkenalkan sebuah nilai berupa koefisien bias gini (KBG) yang dihasilkan dari data pengeluaran. Yaitu perbandingan antara indeks gini yang selama ini dikeluarkan secara resmi (tanpa konversi ke GK) dengan indeks gini data pengeluaran yang sudah dikonversi dengan GK. Dimana jika nilai KBG bernilai kurang dari 1, maka faktor deviasi harga lebih rendah dibandingkan ketimpangan kesejahteraan yang sebenarnya. Jika nilai KBG bernilai 1 atau lebih, maka indeks gini pengeluaran yang dihasilkan lebih dominan karena deviasi harga antar wilayah belum mencerminkan ketimpangan kesejahteraan. Kemungkinan perbedaan bentuk kurva antara data pengeluaran Susenas dan data pengeluaran konversi GK Susenas, seperti dalam Gambar 1. Kurva warna biru gambar kurva untuk pengeluaran Susenas tanpa konversi. Kurva hijau dan kurva merah merupakan gambaran data pengeluaran konversi GK Susenas. Kurva hijau akan memberi hasil KBG kurang dari 1, sedangkan kurva merah akan memberi hasil KBG lebih dari 1. Kurva merah menunjukkan secara riil terjadi ketimpangan kesejahteraan di masyarakat. Kurva hijau menunjukkan bahwa secara riil tidak terjadi ketimpangan di masyarakat, nilai ketimpangan yang terjadi lebih disebabkan karena terjadi deviasi harga. Secara empiris dengan menggunakan data pengeluaran Susenas Maret Jawa Timur 2015-2019 diperoleh bahwa ketimpangan (indeks gini) secara riil di Jawa Timur lebih rendah dibandingkan indeks gini yang dihitung secara langsung dari data pengeluaran, seperti terlihat pada Tabel 1. Ini menunjukkan bahwa ketimpangan yang terjadi di Jawa Timur dikarenakan adanya deviasi harga di masyarakat. Kondisi ini sangat dimungkinkan mengingat sebaran wilayah di Jawa Timur yang cukup luas. Serta terdapat empat wilayah di Jawa Timur terpisah daratan dengan 34 wilayah lainnya. Namun gap deviasi harga ini semakin menurun pada periode 2015-2019, perbedaan indeks gini antara konsumsi perkapita dan konsumsi perkapita riil (konversi GK) semakin sempit. \n\xa0 \nBerdasarkan kajian ini maka perlu kehati-hatian dalam menafsirkan hasil indeks gini dari data pengeluaran (konsumsi). Terutama jika digunakan untuk melihat ketimpangan kesejahteraan masyarakat. Hasil kajian baik teoritis maupun empiris, menunjukkan bahwa ada faktor deviasi harga sebagai akibat penggunaan data konsumsi. Dengan menggunakan konversi terlebih dahulu dengan nilai garis kemiskinan, maka data pengeluaran akan lebih riil mencerminkan kemampuan daya beli masyarakat. Sehingga akan memberi hasil indeks gini yang lebih riil, mencerminkan ketimpangan kesejahteraan masyarakat.\xa0 \n\xa0 \n\xa0

Volume 2020
Pages 1184-1191
DOI 10.34123/SEMNASOFFSTAT.V2020I1.634
Language English
Journal None

Full Text