Archive | 2021

Jual Beli Online dengan Sistem Dropship Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia

 

Abstract


This article aims to examine the dropshipping problem, which is an online sale and purchase carried out by a dropshier for other people s goods (suppliers). Where in Islamic law and Indonesian positive law, it is prohibited to sell other people s property without the permission of the owner. In the various previous studies that have been there, it has discussed more in terms of consumer problems and their validity. Therefore, the author intends to analyze the legal constructs used and who is responsible for the buyer s losses due to the mismatch of goods contained therein according to Islamic law and positive law in Indonesia. This article is a normative research with a statutory, conceptual and comparative approach. Where the legal materials used include primary, secondary and tertiary legal materials, which are obtained by documentary methods and literature studies. The results are: First, the construction of the law of buying and selling online with thesystemdropship in Islamic law can use the construction of thecontractsalam parallel, samsarah, and wakalah. Whereas in positive law in Indonesia, the construction of a power grant agreement in the form of brokers and commissioners can be used. Second, the party responsible for the loss of the buyer due to the mismatch of goods according to Islamic law is the party whose position is the seller in accordance with the construction of the contract used, unless the dropshiper in thecontractsamsarah and wakalah is negligent in carrying out his duties. Meanwhile, according to positive law in Indonesia, the responsibleis the supplier seller, unless the dropshiper is negligent in exercising his power. Keyword: buy and sell; on line; dropship. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengkaji lebih terarah tentang permasalahan dropship,yang merupakan jual beli online yang dilakukan oleh seorang dropshier terhadap barang milik orang lain (supplier). Dimana dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia, dilarang menjual barang milik orang lain tanpa ada izin dari pemiliknya. Pada dalam berbagai kajian terdahulu yang sudah ada, lebih banyak membahas dari segi permasalahan konsumen dan keabsahannya saja. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk menganalisa terkait dengan konstruksi hukum yang digunakan dan siapa yang bertanggung jawab atas kerugian pembeli karena adanya ketidaksesuaian barang di dalamnya menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Artikel ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang, konseptual dan perbandingan. Dimana bahan hukum yang Jual Beli Online dengan Sistem Dropship Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 3, Maret 2021 398 digunakan dinataranya adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier, yang didapatkan dengan metode dokumenter dan studi pustaka. Hasilnya adalah: Pertama, konstruksi hukum jual beli online dengan sistem dropship dalam hukum Islam dapat menggunakan konstruksi akad salam paralel, samsarah, dan wakalah. Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia dapat menggunakan konstruksi perjanjian pemberian kuasa berupa makelar dan komisioner. Kedua, pihak yang bertanggung jawab atas kerugian pembeli karena ketidaksesuain barang menurut hukum Islam adalah pihak yang kedudukannya sebagai penjual sesuai dengan konstruksi akad yang digunakan, kecuali dropshiper dalam akad samsarah dan wakalah lalai dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia, yang bertanggung jawab adalah supplier selaku penjual, kecuali dropshiper lalai dalam melakukan kuasanya. Kata kunci: jual beli; online; dropship. Pendahuluan Dalam melakukan suatu bisnis, keuntungan yang besar merupakan tujuan utama kebanyakan para penggeraknya. Sehingga manusia dalam melakukan bisnis, berusaha untuk mengeluarkan modal yang sedikit dan berkeinginan untuk meraup keuntungan yang besar. Pada era modern ini, yang notabene nya perdagangan bebas sudah mendunia menyebabkan maraknya praktik jual beli online dengan sistem dropship yang banyak dipraktikkan oleh masyarakat karena minimnya modal yang diperlukan dan pelaku usahanya dapat mengambil keuntungan darinya. Dimana dalam praktiknya, dropship bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki barang untuk dijual kepada orang lain sebagaimana dalam praktik yang dilakukan secara offline. Dropship itu sendiri suatu sistem jual beli online yang mana penjual (dropshiper) melakukan penjualan terhadap suatu barang yang tidak ia miliki dan tidak juga memiliki persediaannya, melainkan ia langsung meneruskan pembelian kepada supplier selaku pemilik barang yang sesuai dengan apa yang disepakati dengan pembeli (Nugroho, 2006). Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa dropshiper selaku penggerak dropship suatu barang tertentu dapat lebih jaya dari pada pemilik usaha asli barang yang dimaksud. Dengan adanya hal yang demikian, persaingan bisnis antara pengusaha yang satu dengan lainnya berjalan semakin ketat (hyper competitive) untuk berlomba-lomba mencari keuntungan yang besar dari masyarakat. Sehingga dalam menjalankan bisnisnya, ia mampu mempertahankan bisnis yang dimaksud dalam keadaan persaingan yang sengit di era modern ini (Cahyadi, 2018). Sebelum membahas lebih lanjut tentang dropship, perlu untuk ditahui pengetahuan umum tentang jualbeli itu sendiri. Dimana dalam hukum positif, tepatnya dalam Pasal 1457 KUH Perdata dijelaskan bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian yang mana pihak pertama mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lainnya membayar sejumlah uang yang sudah menjadi kesepakatan dalam perjanjian tersebut. Dimana pengertian ini, dapat kita simpulkan bahwa hal tersebut selaras dengan arti Jual Beli Online dengan Sistem Dropship Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 3, Maret 2021 399 bahasa dalam Islam, yang diartikan sebagai perbuatan memberikan sesuatu dengan menerima sesuatu yang lain (Diana, 2012). Dari adanya persamaan tersebut, tidak dapat dijadikan acuan bahwa di dalam aturan pelaksanaannya juga memiliki persamaan hukum Islam dan hukum positif itu sendiri. Hal ini dikarenakan dua sistem hukum tersebut ada perbedaan sumber yang membentuk segala peraturan di dalamnya. Dimana hukum Islam itu sendiri bersumber dari a-Quran, hadist, ijma’ dan qiyas (Iryani, 2017). Sedangkan hukum positif bersumber dari undangundang, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrin. Selanjutnya dalam Islam dijelaskan bahwa keberadaan transaksi jual beli merupakan kebutuhan dhoruri, yakni suatu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, hukum Islam dengan sifatnya yang rahmatan lil alamin menetapkan hukum tentang kebolehan transaksi jual beli untuk dilakukan dalam kehidupan manusia. Dimana hal tersebut sebagaimana Allah Taala firmankan dalam surah Al-Baqarah ayat 275, yang artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. al-Baqarah: 275). Urgensi adanya kegiatan transaksi jual beli dalam kehidupan manusia juga disambut baik oleh Indonesia sebagai negara hukum, yang mana dalam pelaksanaannya pemerintah membentuk peraturan perundang-undangan sebagai bentuk perlindungan bagi para pihak di dalamnya dan bentuk kepastian hukum terkait dengan perjanjian jual beli itu sendiri. Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa peraturan seperti KUH Perdata, KUH Dagang dan lainnya (Sari, 2017). Selain itu dalam hukum Islam, jual beli merupakan perkara muamalah yang dipermudah dalam pelaksanaanya, karena bisa dilakukan dengan cara apapun selama tidak ada dalil yang melarangnya. Hal ini selaras dengan ketentuan kaidah fiqih yang menyatakan: “hukum asal dalam hal muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya” (Qardhawi, 2014). Kemudahan tersebut juga bisa dilihat dalam ketentuan hukum positif Indonesia, tepatnya dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa jual beli merupakan salah satu perjanjian yang bersifat konsensualisme, yang notabene nya dapat dinyatakan terjadi hanya dengan adanya kesepakatan para pihak di dalamnya, meskipun barang belum diberikan dan uang sebagai harga dari barang belum dibayarkan (KUH Perdata). Dengan adanya kemudahan yang dimaksud, dapat dijadikan sebagai dasar bagi kita untuk lebih semangat lagi mencari keuntungan dari transaksi jual beli. Dimana pada masa modern ini sudah dikenal dengan adanya jual beli secara online, yang dalam pelaksanaannya para pihak di dalamnya bisa melakukan transaksi jual beli dengan melalui internet tanpa harus bertatap muka. Selanjutnya dari definisi dropship sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dipahami bahwa setidaknya ada 3 pihak yang terlibat di dalamnya, yakni dropshiper selaku penjual, dan supplier selaku pemilik barang dan pembeli (Khisom, 2019). Dimana dalam praktiknya diawali dari dropshiper yang melakukan pemasaran secara online terhadap suatu barang berupa gambar beserta penjelasan spesifikasinya, yang Jual Beli Online dengan Sistem Dropship Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 3, Maret 2021 400 kemudian bila ada pembeli yang tertarik untuk membelinya, maka dropshiper akan melanjutkan pembelian kepada supplier selaku pemilik barang dan meminta untuk dikirim langsung pada pembeli. Oleh karena itu, dalam praktiknya dropshiper sebagai penjual telah melakukan penjualan terhadap barang yang tidak ia miliki dan tidak juga ia memiliki stok atas barang yang dimaksud. Dimana barang yang dijual adalah milik supplier yang notabene nya merupakan pelaku usaha yang sesungguhnya. Dalam hukum Islam, menjual barang yang tidak ia miliki adalah hal yang dilarang berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang artinya : “Janganlah kamu menjual barang yang belum kamu miliki”.” (HR. Abu Daud). Dimana larangan tersebut juga terdapat dalam peraturan hukum positif di Indonesia, tepatnya dalam Pasal 1741 KUH Perdata bahwa menjual barang milik orang lain merupakan perjanjian yang batal (KUH Perd

Volume 2
Pages 397-410
DOI 10.36418/JIST.V2I3.105
Language English
Journal None

Full Text