Archive | 2021

MENCERMATI ARAH PENDIDIKAN INDONESIA

 

Abstract


Pendidikan bukan lagi untuk semua orang, namun kini telah mengarah hanya untuk sekelompok orang yang memiliki ?kantongtebal?. Adagiomyangmengatakan?orang miskin dilarang sekolah‘ juga menjadi jargon yang sering kita dengar dan semakin nyaring ketika memasuki tahun ajaranbaru. \nMasuk ke perguruan tinggi pun seakan menjadi mimpi bagi banyak orang, bahkan tak jarang kita temukan fakta mahasiswa karena keterbatasan biaya terpaksa harus berhenti kuliah. Bahkan yang paling memprihatinkan bagaimana cerita sedih si anak pintar, dengan hati berbunga-bunga karena telah dinyatakan lulus seleksi di perguruan tinggi bergengsi di Indonesia dia melakukan daftar ulang namun apa mau dikata pihak perguruan tinggi bergengsi tersebut meminta uang untuk biaya gedung, sedangkan si anak pintar tadi bersama ibunya tidak memiliki uang sebesar itu, pada akhirnya semua keinginanya untuk kuliah diperguruan tinggi bergengsi di Indonesia itupun pudar. Ironismemang. \nSekelumit cerita diatas belum menggambarkan bagaimana output pendidikan bangsa ini. Kita berbangga hati ketika ada sebagian generasi kita memiliki prestasi baik dibidang saints, tekhnologi, dll, atau kalau standarnya adalah banyaknya medali olimpiada ilmiah yang kita raih maka kita tetap berbangga. Namun, semua itu jauh lebih sedikit dibangding bagaimana gambaran generasi kita saat ini. Sek bebas, narkoba, mabuk-mabukan, tawuran, berani dengan orang tua, atau ketika dia bekerja perilaku korupsi dan suap menyuap menjadi hal yang biasa. semua hal itu menambah miris hati kita, akan kita bawa kemana bangsa ini dengan kondisi generasi yang\xa0 untuk menentukan masa depannya pun dia tidak mampu? Namun pertanyaan lebih keras tertuju kepada pemeritah sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam memegang kendali pendidikan, kemana arah pendidikanindonesia? \nTulisan ini akan mencoba menganalisis untuk menjawab kemana arah pendidikanIndonesia. Komodifikasipendidikan \n\xa0 \nGambaran dunia pendidikan kita saat ini sungguh menyedihkan, sebagaimana dituturkan oleh Hanif Saha Ghafur, pengajar UI yang juga penasihat Menteri Pendidikan Nasional (Special \n\xa0 \nAdvisor for the Minister), mengatakan bahwa akses masyarakat terhadap perguruan\xa0 tinggi rendah. Pada 2010, hanya 17% yang diterima masuk PTN. Selebihnya, kelas menengah-atas. Tragisnya, persentase itu terus turun menjadi 15%-16%1. Lebih ironis lagi apa yang di gambarkan oleh Darmaningtyas, pakar pendidikan dari Perguruan Tinggi Taman Siswa Yogyakarta, malah melihat kondisi sesungguhnya jauh lebih parah. Menurutnya, jumlah golongan miskin di PTN dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) tahun 2010 tinggal 4%saja2. \nRendahnya akses masyarakat untuk melanjutkan pada jenjang lebih tinggi lebih disebabkan karena biaya pendidikan yang tidak terjangkau. Tak dapat dipungkiri bahwa konsep privatisasi PT BHMN merupakan penyebab mahalnya pendidikan di negarakita3. \n\xa0 \nBerubahnya manajemen perguruan tinggi menjadi otonomi berawal dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pada tahun 2000 pemerintah menetapkan status BHMN pada empat PTN yang dipandang siap yaitu Universitas Indonesia dengan PP No. 152/2000. Universitas Gadjah Mada PP.No. 153/2000. IPB menjadi BHMN dengan dikeluarannya PP No.154/2000. Menyusul ITB dengan PP. No. 155/2000 menjadi BHMN. Beberapa tahun kemudian menyusul Universitas Sumatera Utara menjadi BHMN dengan PP.No.56/2003. Universitas Pendidikan indonesia menjadi BHMN dengan PP.No 6 tahun2004. Dan UNAIR menjadi BHMN dengan PP.No.30 tahun2006. \n\xa0 \nKemudian, tanggal 17 Desember 2008, melalui jalan yang cukup panjang, yang diwarnai pro dan kontra, DPR RI tetap mensahkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Keberadaan pihak yang pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP karena di satu sisi kehadiran UU BHP dianggap merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun, di sisi\xa0 lain justru kehadiran UU BHP dianggap sebagai bentuk kapitalisasi dunia pendidikan, yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan sebagai jalan lepas tangannya pemerintah terhadap dunia pendidikan sedikit demisedikit. \n\xa0 \n1Sudarmadi. Menata Ulang Manajemen Perguruan Tinggi.2011 \n2ibid \n3ibid \n\xa0 \nKonsekuensi Perguruan Tinggi BHMN menyebabkan mahalnya biaya pendidikan tinggi sehingga semakin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Kondisi ini berlanjut dengan diajukannya tuntutan judicial review terhadap UU BHP ke Mahkamah Konstitusi oleh sekelompok masyarakat. Hasil judicial review dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dinyatakan bahwa UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alasan yan diberikan MK adalah bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat, pertama karena secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan, kedua UU BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik dan ketiga UU BHP melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan, perkumpulan, badan wakaf danlain-lain. \n\xa0 \nLahirnya UU BHP merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 Ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan\xa0 agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. UU BHP\xa0 yang telah\xa0 disahkan\xa0 merupakan\xa0 sebuah\xa0 konsep\xa0 yang sudah 36\xa0 kali\xa0 direvisidimulai \nsejak tahun 2003 dan baru di jadikan UU setelah 36 kali revisi di tahun2008.4 \n\xa0 \nMenurutProf.Dr.Jimly Asshiddiqie, ?penerapanBHMNsamadengangejalakapitalis pendidkan\xa0\xa0\xa0 yang\xa0\xa0\xa0 memberatkan\xa0\xa0\xa0 mahasiswa\xa0\xa0 dan\xa0\xa0 stakeholder?.5\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0\xa0 Sedangkan\xa0 menurut Darmaningtyas,pengurusMajelisLuhurTamansiswa Yogyakarta,mengatakan?Karenadiprivatisasi dalam bentuk PT BHMN, mereka lalu ingin cari untung karena berpikir bantuan pemerintah\xa0 sewaktu-waktu\xa0 dapat\xa0 distop.\xa0 BHMN berpikir\xa0 cari dana\xa0 abadi\xa0 sehingga bayarnya \nmahal,?. Menurut Ichlasul Amal, guru besar di UGM, Perubahan besar terjadi setelah beberapa lembagapendidikanmenyandangstatusBHMNmulai2003.Statusinimembuatmanajemen \n\xa0 \n4Aryos Nivada.potensi bahaya laten UU BHP. http://www.achehpress.com/2009.diakses tgl 31 januari2012 \n\xa0 \n5Edwin Tirani. Kelola Uang Di Universitas Idealnya BLU http://www.media-indonesia.com/Rabu, 28/3/ 2007. Diaksestgl 1/2/2012 \n\xa0 \nlembaga PT harus kreatif menggali dana dari calon mahasiswa berhubung pasokan dari pemerintah terhitung minim. Apalagi, dengan status BHMN mereka diberi keleluasan melakukan seleksi mahasiswa sendiri. Tak mengherankan, manajemen PT pun kemudian membuat kebijakan menyaring mahasiswa plus-plus: pintar secara akademis dan mampu di sisi\xa0\xa0 finansial. \n?Kesalahanberada di pihak pemerintahyangmenerapkankebijakanBHMN,bukan pada PT-nya,?.6 \n\xa0 \nDi banyak PTN, untuk masuk fakultas kedokteran tetap harus membayar uang pangkal di atas Rp 100 juta dan untuk jurusanekonomi-bisnis sekitarRp 50 juta.?Itumembuat masyarakat bingung karena seleksinya bersama tapi uang masuknya berbeda-beda, tergantung tingkat penghasilan orang tua. Apa bedanya dengan masuk ujian mandiri?? ujarDarmaningtyas. \n\xa0 \nHarus diakui, kebijakan BHMN di tahun-tahun lalu telah membawa dampak komersialisasi PTN dalam skala massif. Betapa tidak, memang awalnya hanya beberapa perguruan tinggi yang menentukan uang pangkal dan biaya kuliah dengan nilai tinggi. Namun, tanpa disadari para pembuat kebijakan, apa yang dilakukan sejumlah BHMN diam-diam telah menciptakan standar pasar baru yang kemudian diikuti perguruan tinggi lain, baik yang negeri maupunswasta. \n\xa0 \nTentu ini sebuah ironi. Betapapun akses pendidikan tinggi harus diperluas karena merupakan pilar kemajuan bangsa ke depan. Bila komersialisasi pendidikan terus berlangsung dan warga miskin makin terpinggirkan, Indonesia diprediksi akan kehilangan SDM unggul dalam jumlah besar di masa depan. Kondisi yang tragis mengingat akses pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah. Dari 237 juta penduduk RI, baru 5,2 juta orang yang mampukuliah. \n\xa0 \nMemang tak tidak dapat dipungkiri bahwa untuk biaya operasional pengelolaan pendidikan mahal, ditambah dengan riset yang harus dilakukan. Menurut Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Rohmat Wahab, biaya operasional pendidikan untuk mahasiswa prodi IPS berkisar 22 juta per tahun dan untuk prodi IPA 26 juta-28 juta per tahun (Kompas,11/7) \n\xa0 \nMemang anggaran untuk fungsi pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN yang tahun ini sebesar 248 triliun (20,2 % APBN). Dari jumlah itu, 158 triliun (60%) ditransfer ke daerah. Hanya 89 triliun\xa0 yang dikelola pemerintah pusat\xa0 yang disebar untuk\xa0 18\xa0 kementerian/lembaga. \n6 Rachmanto Aris D. Menata ulang manajemen perguruan tinggi/http://swa.co.id/2011/10/ diakses tgl31/1/2012 \n\xa0 \nYang dikelola Kemdiknas sendiri hanya 55 triliun yang dibagi untuk program pendidikan dasar 12,7 triliun (23%), pendidikan menengah 5 triliun (9,1%), dan pendidikan tinggi 28,8 triliun (51,9%). Anggaran Dikti (pendidikan tinggi) itu termasuk di dalamnya PNBP (penerimaan negara bukan pajak), sehingga terlihat sangat besar. Dan semua jumlah itu sebagian besarnya untuk gaji guru dandosen. \n\xa0 \nLatarbelakang liberalisasiPendidikan \n\xa0 \nDi negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan merupakan penyangga peradaban mereka secara fundamental, sekaligus merupakan lahan\xa0 industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersang

Volume 1
Pages 1-9
DOI 10.37304/JISPAR.V1I2.346
Language English
Journal None

Full Text