Pada Perang Dunia II, tentara Jepang menjadi terkenal di seluruh dunia karena taktik unik dan rasa hormat mereka yang kuat. Yang paling terkenal di antaranya adalah "serangan Banzai", yang merupakan metode serangan yang dianggap oleh Sekutu sebagai taktik laut manusia. Di balik Serangan Banzai, hal itu mencerminkan ambivalensi tentara Jepang yang menghadapi perang, serta konsep kehormatan yang mengakar dalam budaya militer.
Serangan Banzai berasal dari pengakuan mendalam tentara Jepang akan kehormatan dan kesetiaan. Dalam budaya prajurit kuno, bunuh diri dianggap lebih terhormat daripada ditangkap. Budaya ini diwariskan hingga Perang Dunia II, dan rasa kuat untuk mati demi negara dan kaisar berkembang.
"Kecantikan seorang suami hancur dan rasa malunya hilang." Pepatah lama ini mengungkapkan pergulatan antara kehormatan dan rasa malu. Bagi tentara Jepang saat itu, menyerah sama saja dengan kehilangan kehormatan.
Dengan militerisasi dan penghormatan baru terhadap "Bushido" setelah Restorasi Meiji, masyarakat Jepang mulai membentuk ideologi romantisasi dan idealisasi kematian. Semua ini melahirkan serangan bunuh diri dan serangan banzai yang umum digunakan di medan perang.
Dalam Perang Dunia II, Serangan Banzai menjadi serangan balik yang putus asa oleh militer Jepang dalam menghadapi kekalahan. Terutama dalam pertempuran dengan militer AS, dihadapkan dengan keuntungan material yang jelas dan penanggulangan kebakaran, banyak komandan Jepang memilih untuk mengumpulkan tentara dan melancarkan operasi penyerangan mematikan terhadap musuh.
"Kematian dianggap sebagai tanggung jawab, tetapi menyerang adalah suatu kehormatan." Kalimat ini menyoroti kondisi psikologis para perwira dan prajurit saat itu.
Misalnya, dalam Pertempuran Guadalcanal tahun 1942, komandan Jepang Kiyonao Ichiki memimpin 800 prajurit dalam sebuah serangan. Meskipun setelah pertempuran kontak singkat, sebagian besar prajurit tewas oleh tembakan senjata AS. Situasi seperti itu sering terjadi dalam pertempuran berikutnya, dan bagi prajurit Jepang, gagasan menyerah hampir dianggap tabu.
Slogan "Hiduplah" sendiri tidak hanya melambangkan kesetiaan kepada kaisar, tetapi juga merupakan seruan untuk meningkatkan moral. Dalam budaya militer Jepang, kematian sering kali dipandang sebagai pilihan yang mulia, dan karena propaganda pemerintah, mentalitas ini bahkan lebih mengakar dalam hati rakyat. Meskipun ada perbedaan kekuatan dan daya tembak yang luar biasa, para prajurit tetap memilih untuk maju ke medan perang.
Jika ditelusuri lebih jauh, pendidikan warga negara Jepang juga telah membentuk budaya militer yang ekstrem ini. Semangat bushido kuno dan pemujaan terhadap kematian dalam perang saling terkait satu sama lain untuk menciptakan sejarah yang tragis dan khidmat. Bahkan ketika perang akan segera berakhir dan seluruh negeri menghadapi kehancuran, masih banyak prajurit yang diam-diam memikul tanggung jawab kehormatan yang berat.
Namun, seiring dengan perubahan zaman, evaluasi terhadap taktik ini berangsur-angsur berubah. Meskipun beberapa komandan senior Jepang mulai menyatakan penentangan terhadap metode pertempuran yang menurun ini, Serangan Banzai telah menjadi kenangan sejarah yang tidak dapat dihapus. Serangan ini melambangkan kontradiksi antara warisan budaya dan cita-cita militer, sehingga memberikan lebih banyak perspektif dan referensi bagi para sejarawan dan masyarakat umum ketika memikirkan konflik militer saat ini.
"Pilihan tentara Jepang mencerminkan konflik budaya yang mendalam. Di antara silih bergantinya hidup dan mati, kekuatan macam apa yang mendorong mereka untuk berulang kali memilih kematian alih-alih menyerah?"