Dalam sistem peradilan pidana Jepang, terdapat tiga karakteristik dasar yang menjadi kunci operasinya. Pertama, terdapat hubungan kolaboratif yang erat antara lembaga penegak hukum (termasuk polisi, jaksa, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan), dengan konsultasi yang sering dilakukan tentang cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama dalam membatasi dan mengendalikan kejahatan. Kedua, warga negara didorong untuk membantu menjaga ketertiban umum dan berpartisipasi secara luas dalam kampanye pencegahan kejahatan, penangkapan tersangka, dan program rehabilitasi bagi pelanggar. Terakhir, petugas penegak hukum memiliki kebijaksanaan yang cukup besar saat menangani tersangka kriminal.
Menurut data kepolisian Jepang, polisi mencatat 568.104 kejahatan pada tahun 2021, yang 8.821 di antaranya tergolong kejahatan berat (seperti pembunuhan, perampokan, dll.). Tingkat penangkapan untuk kejahatan berat ini mencapai 93,4%. Data menunjukkan bahwa tingkat hukuman di Jepang telah melampaui 99,8%, angka yang bahkan melampaui beberapa rezim otoriter saat ini.
Para ahli telah menunjukkan bahwa tingkat hukuman yang tinggi di Jepang terutama berasal dari tingkat penuntutan yang rendah dan perbedaan dalam cara penghitungan tingkat hukuman dari negara lain. Di Jepang, jaksa hanya mengadili kasus-kasus yang memiliki peluang yang wajar untuk memperoleh hukuman, sehingga jumlah kasus yang benar-benar dituntut relatif kecil.
Jaksa Jepang menunda penuntutan dalam 60% kasus, dan sekitar 30% kasus diselesaikan melalui persidangan singkat. Persidangan singkat ini dilakukan tanpa persidangan formal setelah jaksa menyerahkan dokumen. Dengan sistem ini, hanya 8% kasus yang benar-benar dituntut oleh jaksa.
Menurut analisis para ahli, perilaku jaksa ini didasarkan pada rasa takut yang berlebihan terhadap risiko kalah dalam kasus tersebut, karena kegagalan akan merusak reputasi mereka. Tingkat penuntutan dan hukuman telah menurun sejak sistem juri diperkenalkan pada tahun 2009.
Sistem peradilan pidana Jepang telah mengalami perubahan signifikan, terutama sejak Restorasi Meiji pada tahun 1868. Hingga Restorasi Meiji, peradilan Jepang terutama berada di bawah kendali langsung daimyo, yang mengandalkan norma moral daripada hukum. Setelah tahun 1868, undang-undang hukum pertama yang diundangkan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tahun 1880, dimodelkan berdasarkan hukum Prancis dan menandai dimulainya perlakuan yang sama terhadap semua warga negara dan pembentukan administrasi peradilan pidana yang terpusat.
Ketika polisi menangkap seorang tersangka, kasus tersebut diteruskan ke jaksa penuntut. Berdasarkan hukum, jaksa penuntut memiliki kewenangan unik untuk memutuskan apakah akan mengajukan tuntutan terhadap suatu kasus. Menurut Pasal 248 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Jepang, jaksa dapat memutuskan untuk tidak mengajukan tuntutan pidana ketika mempertimbangkan jenis kejahatan dan situasi terdakwa.
Selain kewenangan jaksa, polisi juga memiliki kewenangan luas terkait kejahatan remaja dan dapat mengirim tersangka remaja ke pengadilan anak untuk konseling.
Sistem kepolisian Jepang mendorong warga negara untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum, dan dalam proses penangkapan dan penuntutan, partisipasi warga negara dianggap sebagai bagian dari upaya menjaga ketertiban sosial. Penekanan pada partisipasi masyarakat ini memperkenalkan konsensus tanggung jawab moral sambil menjaga keselamatan publik.
Namun, sistem peradilan Jepang telah lama dikritik, termasuk pertanyaan tentang penahanan yang lama dan kurangnya penasihat hukum. Beberapa cendekiawan menyebutnya sebagai "keadilan sandera," yang merujuk pada penggunaan penahanan yang lama dan pemeriksaan paksa untuk meningkatkan peluang keberhasilan penuntutan.
Beberapa orang mengkritik praktik ini karena tidak konsisten dengan standar hak asasi manusia dan percaya bahwa hal itu dapat menyebabkan pengakuan palsu dan pemenjaraan yang tidak adil.
Karakteristik sistem peradilan pidana Jepang menghasilkan tingkat hukuman yang sangat tinggi, tetapi ada juga banyak masalah yang tidak diketahui yang tersembunyi di baliknya. Karena masyarakat semakin memperhatikan keadilan dan hak asasi manusia, apakah model ini akan dievaluasi ulang dan diubah?