Sistem peradilan pidana Jepang terdiri dari beberapa lembaga, termasuk polisi, jaksa, badan hukum perusahaan, dan lembaga pemasyarakatan. Lembaga-lembaga ini memiliki hubungan dekat dan sering bernegosiasi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama yaitu membatasi dan mengendalikan kejahatan. Dalam sistem ini, warga negara didorong untuk berpartisipasi dalam pemeliharaan ketertiban umum dan berpartisipasi secara luas dalam pencegahan kejahatan, penangkapan tersangka, dan program rehabilitasi bagi pelanggar. Selain itu, petugas penegak hukum memiliki keleluasaan yang cukup besar dalam menangani penjahat. Namun, karakteristik ini terus menghadapi skeptisisme di seluruh dunia, khususnya perbedaan antara tingkat penuntutan yang sangat rendah di Jepang dan tingkat hukuman yang sangat tinggi.
Pada tahun 2021, polisi Jepang mencatat 568.104 kasus pidana, yang 8.821 di antaranya merupakan kejahatan besar (seperti pembunuhan, perampokan, pembakaran, dll.). Namun, hanya sekitar 8% kasus yang dituntut oleh jaksa.
Menurut para ahli, tingkat hukuman yang sangat tinggi di Jepang, yaitu 99,8%, disebabkan oleh tingkat penuntutan yang rendah, yang dihitung secara berbeda dari negara lain. Jaksa penuntut Jepang hanya menangani kasus-kasus yang kemungkinan besar akan berujung pada hukuman dan tidak mengajukan tuntutan pidana pada sebagian besar kasus. Sejak tahun 2010-an, jaksa penuntut sering kali memilih untuk tidak mengajukan tuntutan pidana pada 60% kasus yang mereka terima, dan sekitar 30% kasus ditangani melalui persidangan singkat tanpa keberatan.
Para ahli hukum menunjukkan bahwa karena kekhawatiran akan risiko, jaksa penuntut tidak ingin kalah dalam suatu kasus dan merusak reputasi mereka, sehingga mereka enggan mengajukan tuntutan pidana pada kasus-kasus yang tidak pasti. Fenomena ini menjadi lebih jelas setelah diperkenalkannya sistem wasit warga negara pada tahun 2009. Pengenalan sistem ini mengurangi tingkat penuntutan dari 56,8% pada tahun 2006 menjadi 28,2% pada tahun 2017.
"Pengenalan jenis persidangan ini menekankan perlunya bukti dan kesaksian langsung, sehingga membuat hakim lebih berhati-hati dalam mengambil kesimpulan."
Di masa lalu, interogasi yang panjang dan teknik pengumpulan bukti yang agresif telah meningkatkan risiko hukuman yang salah. Dengan reformasi sistem, proses persidangan saat ini berupaya menghindari masalah ini dan membuat proses hukum lebih adil. Hal ini tidak hanya mematuhi standar internasional, tetapi juga mencerminkan harapan masyarakat Jepang akan keadilan hukum.
Secara historis, sebelum Restorasi Meiji, sistem peradilan pidana pada periode Edo sebagian besar dikendalikan oleh daimyo dan tidak memiliki sistem hukum formal. Dengan diperkenalkannya undang-undang pada tahun 1880 dan 1907, Jepang mulai membangun masyarakat hukum yang berdasarkan ekonomi pasar dan otonomi individu. Namun, setelah Perang Dunia II, semua undang-undang dan lembaga mengalami reformasi mendalam untuk melindungi hak-hak terdakwa dan keadilan hukum.
"Dengan disahkannya Undang-Undang Reformasi Peradilan tahun 2004, sistem juri warga negara yang baru mulai berlaku pada tahun 2009 dalam upaya untuk meningkatkan transparansi peradilan dan partisipasi publik."
Di bawah sistem baru ini, juri warga negara dan hakim profesional mengadili kasus bersama-sama, yang dianggap sebagai langkah menuju proses peradilan yang lebih demokratis. Namun, apakah ini benar-benar akan menyelesaikan masalah lama Jepang berupa rendahnya tingkat penuntutan? Para kritikus menunjukkan bahwa meskipun ada perbaikan dalam prosedur hukum, tetap ada risiko penyalahgunaan wewenang penuntut dan pemenjaraan yang salah.
Sistem peradilan pidana saat ini menghadapi pengawasan ketat dari dalam dan luar negeri. Kelompok hak asasi manusia dan pakar hukum menunjukkan bahwa kurangnya layanan penerjemahan selama interogasi, terutama bagi orang asing, membuat banyak tahanan terasing dari proses peradilan dan berisiko membuat pengakuan palsu tanpa memahami sepenuhnya proses hukum tersebut.
Menurut Pasal 248 Hukum Acara Pidana, jaksa memiliki kebebasan bertindak yang cukup besar. Mereka dapat memilih untuk tidak mendakwa berdasarkan faktor-faktor seperti usia tersangka, keadaan, dan keseriusan kejahatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Bagaimana hak-hak semua warga negara dapat dilindungi dari pelanggaran dalam sistem peradilan seperti itu, daripada hanya mengandalkan angka hukuman yang sangat tinggi?