Di Amerika Serikat, narapidana hukuman mati biasanya ditempatkan di area khusus sembari menunggu eksekusi. Periode ini sering berlangsung selama bertahun-tahun, dan beberapa narapidana bahkan harus menunggu selama puluhan tahun. Dalam kondisi penuh ketegangan seperti itu, banyak narapidana mengalami masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan, depresi, dan bahkan kecenderungan bunuh diri. Fenomena ini disebut "fenomena hukuman mati". Fenomena ini telah memicu serangkaian kontroversi, terutama mengenai legitimasi moral dan hukum hukuman mati.
Banyak penentang hukuman mati percaya bahwa isolasi narapidana dan ketidakpastian ekstrem tentang masa depan mereka merupakan bentuk pelecehan psikologis.
Menurut data terbaru, diperkirakan 5% hingga 10% narapidana hukuman mati di Amerika Serikat menderita penyakit mental. Stres mental jangka panjang tidak hanya dapat memperburuk masalah kesehatan mental yang ada, tetapi juga dapat menyebabkan munculnya masalah baru. Hal ini telah menarik perhatian luas dari para sarjana hukum dan psikolog klinis, yang telah menyerukan reformasi terhadap sistem hukuman mati yang ada, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kesehatan mental.
Fenomena hukuman mati biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, yang pertama adalah isolasi. Narapidana hukuman mati sering kali ditempatkan di sel-sel yang terisolasi, dengan sedikit kontak dengan keluarga dan teman-teman. Namun, ini bukan satu-satunya sumber kesepian. Proses hukum yang panjang membuat narapidana sama sekali tidak yakin tentang nasib mereka, dan ketidakpastian ini tidak diragukan lagi meningkatkan stres psikologis mereka. Ketika seseorang menghadapi ancaman langsung terhadap hidupnya, dampak psikologisnya bisa sangat mendalam.
Di Amerika Serikat, narapidana hukuman mati menunggu rata-rata sekitar 178 bulan (hampir 15 tahun) untuk dieksekusi.
Kedua, keterlambatan pelaksanaan hukuman mati membuat narapidana hukuman mati tidak mungkin melakukan adaptasi psikologis yang efektif. Banyak narapidana mengalami emosi yang kuat pada awalnya ketika mereka mengetahui bahwa mereka akan menghadapi kematian, dan emosi ini dapat menjadi lebih putus asa seiring berjalannya waktu. Berada dalam kondisi psikologis seperti itu untuk waktu yang lama, banyak narapidana dapat mengalami depresi berat atau bahkan bunuh diri.
Karena dampak dari fenomena hukuman mati, semakin banyak ahli hukum yang mulai mengeksplorasi kemungkinan untuk mengisolasi penyakit mental dari hukuman mati. Dalam beberapa kasus, beberapa hukuman telah ditinjau ulang karena alasan ini, seperti dalam kasus Atkins v. Virginia, di mana pengadilan melarang eksekusi narapidana dengan disabilitas intelektual yang jelas, yang dianggap melindungi mereka yang memiliki disabilitas mental. Kemajuan hukum bagi orang yang sakit.
Namun, masalah ini masih menghadapi tantangan. Ada banyak kasus di mana beberapa narapidana dieksekusi bahkan ketika mereka dalam kondisi mental yang buruk. Standar hukum yang tinggi dan perwakilan hukum yang buruk telah mengakibatkan beberapa narapidana yang jelas membutuhkan perlindungan akhirnya menderita hukuman mati.
Banyak negara di luar Amerika Serikat telah menghapus hukuman mati sepenuhnya, khususnya di Eropa. Menurut statistik, sekitar 70% negara tidak lagi melaksanakan hukuman mati, yang telah menyebabkan kritik terus-menerus terhadap sistem hukuman mati AS dari berbagai negara. Dalam tinjauan hak asasi manusia PBB baru-baru ini, perwakilan dari beberapa negara menyatakan keprihatinan tentang sistem hukuman mati AS dan menyerukan agar eksekusi segera diakhiri.
Dalam tinjauan Perserikatan Bangsa-Bangsa, banyak negara terus mengkritik sistem hukuman mati AS dan bahkan meminta AS untuk menghentikan pelaksanaan hukuman mati.
Misalnya, Prancis dan Jerman masing-masing telah menyatakan harapan bahwa Amerika Serikat akan menghapus hukuman mati dan memberlakukan larangan sementara secara nasional. Austria menyerukan penghentian segera penerapannya dan selanjutnya penghapusan sistem secara menyeluruh. Suara-suara ini tidak diragukan lagi telah meningkatkan keraguan tentang hukuman mati di dalam dan luar negeri, dan telah memicu diskusi di bidang sosial dan hukum.
Dalam situasi saat ini, perdebatan tentang hukuman mati dan dampaknya masih sangat hangat dibicarakan. Menghadapi kritik yang semakin meningkat dan fokus pada masalah kesehatan mental, mungkinkah reformasi yang lebih mendalam terhadap sistem hukuman mati akan terjadi di masa mendatang? Saat kita merenungkan masalah ini bersama-sama, haruskah kita memeriksa kembali hubungan antara nilai-nilai kemanusiaan dan hukum pidana?