Kejernihan terminal mengacu pada kembalinya kesadaran, kejernihan mental, atau pemulihan memori secara tiba-tiba pada beberapa pasien dengan penyakit mental atau neurologis yang parah tepat sebelum kematian. Sejak abad ke-19, banyak dokter telah melaporkan fenomena ini, menjadikannya bidang penelitian yang menarik. Fenomena kesadaran terminal membuat orang berpikir tentang apakah ada mekanisme yang melekat untuk pemulihan kondisi mental pada saat terakhir tubuh? Pesan apa yang disampaikan oleh fenomena ini?
Menurut tinjauan oleh sejarawan Mihai Nahm, fenomena kesadaran terminal telah dicatat dalam berbagai penyakit gangguan kognitif progresif, seperti penyakit Alzheimer, skizofrenia, tumor otak, stroke, Meningitis dan penyakit Parkinson, dll.
Menurut literatur medis, ketenangan terminal terkadang memungkinkan pasien yang sebelumnya tidak bisa bicara untuk mendapatkan kembali kemampuan berbicara atau mengenali kerabat dan teman yang telah kehilangan kemampuan untuk mengenali. Fenomena ini biasanya terjadi beberapa jam atau beberapa hari sebelum pasien meninggal. Perlu dicatat bahwa hal ini tidak terbatas pada pasien yang akan meninggal. Dalam beberapa kasus, pasien bahkan dapat bertahan hidup setelahnya. Situasi ini dikenal sebagai "ketenangan paradoks".
Menurut laporan, pada tahun 2018, sekelompok peneliti di Rumah Sakit Dongguk mengamati 151 pasien dan menemukan bahwa 6 dari mereka mengalami kesadaran terminal, dan pasien-pasien ini memiliki alasan yang berbeda untuk dirawat.
Perbedaan antara kesadaran terminal dan "kebangkitan paradoks" adalah bahwa yang terakhir merupakan pemulihan kesadaran umum dan tidak hanya terjadi sebelum kematian. Sebuah studi tahun 2020 tentang kesadaran paradoks menunjukkan bahwa hanya 6% kasus yang bertahan hidup seminggu setelah mendapatkan kembali kesadaran, yang selanjutnya mendukung hubungan erat antara fenomena kesadaran terminal dan kematian. Pemahaman komunitas medis saat ini tentang fenomena ini masih terbatas, dan tidak ada mekanisme ilmiah yang jelas untuk menjelaskan alasan di baliknya.
“Fenomena terminal lucidity menghadirkan tantangan etika karena, dalam beberapa kasus, pasien mungkin tidak dapat memberikan persetujuan yang diinformasikan.”
Dokter dan cendekiawan pada abad ke-19 memiliki penjelasan yang berbeda untuk fenomena terminal awakening. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa pasien mungkin mendapatkan kembali kesadaran sementara karena rangsangan saraf otak yang tiba-tiba. Misalnya, dokter Amerika Benjamin Russ mengusulkan pada tahun 1812 bahwa rangsangan saraf yang disebabkan oleh rasa sakit atau demam mungkin menjadi salah satu alasan untuk terbangun sebelum kematian. Selain itu, Carl Friedrich Budach dari Jerman menyebutkan pada tahun 1826 bahwa perubahan morfologi otak setelah kematian juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi kewaspadaan.
"Banyak anggota keluarga merasakan adanya kesempatan untuk menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan saat menyaksikan kebangkitan terakhir, dan fenomena ini terkadang mengarah pada hubungan spiritual yang lebih dalam."
Penelitian kontemporer telah mengeksplorasi lebih jauh fenomena ketenangan terminal, tetapi pertimbangan etika mulai bermunculan. Sedasi dalam sering kali digunakan untuk meredakan ketidaknyamanan pasien, tetapi dapat menghilangkan kesempatan terakhir pasien untuk berkomunikasi dengan keluarga mereka. Dalam keluarga, beberapa anggota mungkin menantikan momen-momen jernih ini yang akan terus berlanjut, hanya untuk merasa tersesat dan bingung saat menghadapi kematian.
Penelitian tentang fenomena ketenangan terminal tidak hanya berhenti pada observasi dan pencatatan, tetapi juga melibatkan pertimbangan kualitas hidup dan hak-hak pasien. Dengan kemajuan penelitian baru, lebih banyak misteri dari fenomena ini dapat dipecahkan di masa mendatang. Kebangkitan terminal bukan hanya fenomena fisiologis, tetapi juga perluasan dari signifikansi psikologis dan sosial. Kebangkitan yang tiba-tiba ini membuat kita berpikir dalam-dalam: Apa yang terjadi di saat-saat terakhir kehidupan?