Dalam konteks pencarian solusi energi berkelanjutan saat ini, penelitian tentang biofuel semakin mendapat perhatian. Secara khusus, butanol telah menarik perhatian luas sebagai pilihan energi terbarukan. Proses yang didasarkan pada fermentasi mikroba ini memungkinkan manusia mengubah karbohidrat menjadi energi yang berharga dan dapat menjadi salah satu solusi bahan bakar masa depan.
Bahan bakar alkohol tidak hanya dapat diekstraksi dari sumber daya terbarukan, tetapi juga memiliki kepadatan energi yang tinggi.
Fermentasi etanol-aseton-butanol (ABE), juga dikenal sebagai proses Wiesmann, memanfaatkan bakteri anaerob untuk mengubah karbohidrat menjadi aseton, butanol, dan etanol. Teknologi ini pertama kali dikembangkan oleh ahli kimia Zeim Weitzmann dan digunakan untuk memproduksi bahan amunisi yang diperlukan selama Perang Dunia I.
Mirip dengan fermentasi gula oleh ragi untuk menghasilkan etanol, fermentasi ABE dilakukan oleh mikroorganisme anaerobik murni. Mikroorganisme ini, termasuk Clostridium acetobutylicum yang paling umum, tumbuh di lingkungan bebas oksigen dan melakukan fermentasi untuk menghasilkan pelarut yang bermanfaat ini. Dalam proses ini, rasio pelarut yang dihasilkan adalah tiga bagian aseton, enam bagian butanol, dan satu bagian etanol. Latar Belakang SejarahNamun, produksi alkohol secara biologis pertama kali dilakukan pada tahun 1861 oleh Louis Pasteur. Selanjutnya, ahli biokimia Austria Franz Sardinger menemukan metode untuk memproduksi aseton pada tahun 1905, dan selanjutnya mengembangkan proses fermentasi butanol menggunakan pati kentang pada tahun 1910. Dengan pecahnya Perang Dunia I, proses fermentasi ABE diindustrialisasikan pada tahun 1916 dan dengan cepat meluas ke Amerika Serikat dan Inggris.
Peningkatan teknologi ini terkait erat dengan situasi internasional, dan permintaan alkohol meningkat tajam.
Seiring berjalannya waktu, fermentasi ABE menjadi kurang ekonomis karena persaingan dengan petrokimia. Untuk menghidupkan kembali teknologi ini, para ilmuwan berfokus pada peningkatan produktivitas dan pengurangan biaya. Strategi ini meliputi penggunaan bahan baku yang murah seperti limbah lignoselulosa atau alga, menyelidiki galur baru yang toleran tetapi beracun terhadap alkohol, dan mengoptimalkan desain reaktor fermentasi.
Kebutuhan untuk meningkatkan kemurnian produk telah menyebabkan munculnya banyak teknologi baru, termasuk penghilangan gas, pemisahan membran, dan reverse osmosis.
Saat ini, fermentasi ABE tengah menjadi perhatian, terutama karena potensinya sebagai biofuel untuk menghasilkan butanol terbarukan, yang diharapkan menjadi sumber energi alternatif di masa mendatang. Menurut Badan Energi Internasional, biofuel akan menyumbang 30% dari konsumsi energi transportasi pada tahun 2060.
Butanol dapat digunakan langsung dalam mesin bensin dan didistribusikan melalui jaringan pipa dan stasiun pengisian bahan bakar yang ada, menjadikannya pilihan yang lebih menarik daripada etanol tradisional. Selain itu, jangkauan aplikasi butanol semakin luas, dan permintaan meningkat dari aditif bahan bakar hingga pelarut pelapis.
Sebagai sumber daya terbarukan, butanol berpotensi mengubah sistem energi kita karena kepadatan energinya yang tinggi dan volatilitasnya yang rendah.
Jadi, dengan semakin fokusnya dunia pada energi terbarukan, akankah butanol menjadi kekuatan penting dalam mendorong transisi energi?