Selama Perang Dunia I, Angkatan Darat Inggris menghadapi tantangan berupa kekurangan sumber daya, khususnya dalam hal pembuatan bubuk mesiu dan bahan peledak. Pada momen kritis inilah ilmuwan Chaim Weizmann menemukan proses fermentasi aseton-butanol-etanol (ABE), yang sepenuhnya mengubah sejarah perang. Proses mengubah karbohidrat menjadi berbagai produk kimia melalui fermentasi bakteri ini tidak hanya memengaruhi strategi perang, tetapi juga meletakkan dasar bagi teknologi industri pascaperang.
Namun, potensi yang tersembunyi dalam teknologi proses ABE jauh melampaui hal ini, dan hal ini memberikan inspirasi bagi jalur energi terbarukan di masa depan.
Prinsip dasar fermentasi ABE mirip dengan proses fermentasi gula oleh ragi untuk menghasilkan etanol dalam pembuatan anggur, tetapi mikroorganisme yang digunakan dalam proses ini benar-benar anaerobik, artinya mereka tidak dapat bertahan hidup dalam keberadaan oksigen. Bakteri ini mencakup berbagai galur dari kelas Clostridia, yang paling terkenal adalah Clostridium acetobutylicum. Proses ini dapat dibagi menjadi dua tahap: tahap awal pembentukan asam dan tahap pembentukan pelarut berikutnya. Awalnya, sel tumbuh dan berkembang biak, mengumpulkan asetat dan butirat, yang kemudian beralih ke fase di mana mereka menghasilkan aseton, butanol, dan etanol saat pH berubah.
Secara historis, perkembangan teknologi ini dapat ditelusuri kembali ke tahun 1861, ketika Louis Pasteur pertama kali memproduksi butanol menggunakan metode biologis. Dalam beberapa dekade berikutnya, komunitas ilmiah telah membuat banyak perbaikan pada teknologi ini. Secara khusus, pada tahun 1916, Chaim Weizmann berhasil mengembangkan proses industri yang ditargetkan dari galur Clostridium acetobutylicum, dan segera permintaan untuk teknologi ini meningkat tajam.
"Proses Weizmann memberi kita bahan kimia yang diperlukan selama perang, dan di balik penemuan ini tidak hanya kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga perwujudan kreativitas manusia."
Dengan berakhirnya Perang Dunia I, teknologi fermentasi ABE tidak lagi digunakan karena biaya ekstraksi bahan kimia ini dari minyak bumi menjadi lebih kompetitif. Namun, perubahan zaman dan meningkatnya kesadaran lingkungan telah membuat orang kembali memperhatikan teknologi ini. Terutama dalam beberapa tahun terakhir, dengan kebijakan yang menguntungkan bagi biofuel, proses fermentasi ABE sedang dievaluasi ulang dan diharapkan menjadi sumber biofuel yang penting di masa mendatang.
Setelah memasuki abad ke-21, dengan tren perubahan iklim global dan meningkatnya permintaan energi terbarukan, potensi fermentasi ABE sekali lagi menarik perhatian. Produk ini tidak hanya menargetkan produksi aseton dan butanol, tetapi juga dapat berfungsi sebagai biofuel alternatif, yang semakin populer, terutama untuk transportasi jarak jauh dan industri yang sulit didekarbonisasi. Dibandingkan dengan biofuel lainnya, butanol memiliki kinerja mesin dan kepadatan energi yang lebih unggul serta memiliki potensi aplikasi yang lebih luas.
“Masa depan energi terbarukan terletak pada bagaimana kita menggunakan teknologi yang sudah kita miliki dan bagaimana kita mengarahkannya untuk memecahkan masalah lingkungan saat ini.”
Namun, fermentasi ABE tidak hanya menghadapi tantangan dalam efisiensi produksi, tetapi juga perlu mengatasi serangkaian masalah teknis dalam proses pembersihan. Hal ini meningkatkan biaya produksi, sehingga sulit bagi perusahaan untuk bersaing dengan proses petrokimia konvensional untuk sementara waktu. Oleh karena itu, para ilmuwan mulai mencari mikroorganisme baru dan meningkatkan desain reaktor fermentasi, berusaha untuk mengurangi biaya produksi sambil memastikan kemurnian dan hasil produk.
Melihat ke masa depan, prospek pengembangan teknologi fermentasi ABE masih layak untuk dinantikan. Seiring meningkatnya penekanan pada pembangunan berkelanjutan, teknologi ini berpotensi memainkan peran penting dalam mengatasi krisis energi global dan tantangan lingkungan. Inovasi teknologi lebih lanjut, seperti pengembangan teknologi pemisahan gas dan penyaringan membran, akan membuat teknologi fermentasi ABE lebih kompetitif.
Singkatnya, proses Weizmann bukan sekadar inovasi ilmiah dan teknologi sejak awal, tetapi justru mengungkap kebijaksanaan tentang bagaimana manusia dapat menggunakan sumber daya alam dan terus berinovasi agar dapat bertahan hidup dalam krisis. Dengan meningkatnya permintaan energi dan masa depan energi terbarukan yang sudah di depan mata, akankah proses Weizmann sekali lagi menjadi kekuatan pengubah permainan dalam konteks sejarah baru?