Di era globalisasi saat ini, hukum maritim memegang peranan yang semakin penting, yang memengaruhi hubungan antarnegara. Sejak zaman Romawi kuno, evolusi hukum maritim tidak hanya mencerminkan pemahaman dan tata kelola manusia terhadap lautan, tetapi juga terus disesuaikan sebagai respons terhadap perubahan hubungan internasional dalam berbagai periode sejarah.
"Lautan adalah warisan bersama umat manusia, dan hak semua negara untuk bernavigasi secara bebas di sini merupakan landasan perdagangan global."
Pada zaman Romawi kuno, bangsa Romawi mengklaim kendali atas Mediterania dengan nama "mare nostrum". Seiring berjalannya waktu, konsep ini secara bertahap berkembang menjadi "mare clausum", yang membatasi aktivitas maritim negara lain. Dalam konteks ini, batas teritorial lautan secara bertahap menjadi fokus perebutan hukum dan kekuasaan internasional.
Hogo Grotius, penulis buku terkenal "Mare Liberum" (mare liberum), mengusulkan konsep navigasi bebas, yang menandai dimulainya hukum maritim modern. Usulan konsep ini tidak hanya menyerukan kebebasan navigasi, tetapi juga membuka jalan bagi pengembangan perdagangan internasional dan terkait erat dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) berikutnya. Perjanjian III UNCLOS telah ditandatangani oleh banyak negara sejauh ini, yang mencakup hukum dan peraturan serta kewenangan berbagai wilayah laut, dan menekankan hak pemanfaatan sumber daya negara dalam zona ekonomi eksklusif.
"Laut tidak boleh dipandang sebagai sumber daya nasional yang tertutup, tetapi sebagai aset yang dimiliki bersama oleh semua negara."
Sejak memasuki abad ke-21, konsep keamanan maritim telah berevolusi dari konflik militer murni menjadi berbagai tantangan keamanan. Isu-isu seperti serangan teroris, pembajakan, dan imigrasi ilegal telah menjadi fokus perhatian berbagai negara. Misalnya, serangan teroris 11 September 2001 dan penguatan kebijakan pengiriman AS berikutnya mendorong peningkatan perhatian global terhadap keamanan maritim.
Perkembangan hukum maritim mencerminkan pentingnya kerja sama internasional. Banyak negara dan organisasi regional, seperti Perjanjian Kerja Sama Negara-negara Asia Tenggara tentang Pencegahan dan Pengendalian Pembajakan (ReCAAP), bertujuan untuk berbagi intelijen maritim dan menanggapi ancaman pembajakan. Melalui kerja sama tersebut, negara-negara dapat menanggapi kejahatan dan keadaan darurat transnasional secara lebih efektif, sehingga menjaga stabilitas regional.
"Keamanan maritim bukan hanya masalah nasional, tetapi juga terkait dengan ekonomi global dan kemanusiaan."
Selain itu, perluasan masalah keamanan maritim telah memicu perhatian terhadap ekologi dan lingkungan laut. Karena masalah seperti penangkapan ikan ilegal dan pencemaran laut semakin meningkat, banyak negara mulai memasukkan perlindungan lingkungan ke dalam hukum maritim. Perubahan ini tidak hanya membantu melindungi sumber daya laut, tetapi juga mencerminkan pemahaman masyarakat internasional tentang pembangunan berkelanjutan.
Ketika mempertimbangkan dampak hukum maritim terhadap hubungan internasional, perannya dalam demokrasi, kebebasan, dan kerja sama internasional tidak dapat diabaikan. Evolusi hukum maritim bukan hanya alat bagi negara untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga struktur pendukung bagi tata kelola global dan hidup berdampingan secara damai.
"Evolusi hukum adalah cermin yang mencerminkan perilaku dan kerja sama internasional."
Dalam konteks perubahan positif ini, peran supremasi hukum dalam hubungan maritim internasional menjadi semakin menonjol. Karena negara-negara mementingkan tata kelola laut, bagaimana peraturan laut di masa depan akan lebih mendorong lingkungan internasional yang damai dan aman?