Dalam sejarah Inggris, dari bayang-bayang Wabah Hitam hingga kemakmuran ekonomi yang mengikutinya, evolusi ini tidak hanya berupa peningkatan populasi, tetapi juga perubahan besar dalam struktur sosial dan model bisnis. Perubahan ini khususnya terlihat jelas selama periode Tudor, periode ketika vitalitas ekonomi Inggris meningkat secara dramatis.
Dinasti Tudor, dari tahun 1485 hingga 1603, meliputi perubahan agama dan politik yang penting dalam sejarah Inggris. Secara khusus, pemerintahan Henry VIII paling menarik perhatian. Ia memutuskan hubungan dengan Tahta Suci dan mendirikan Gereja Inggris. Selain itu, ini merupakan periode kritis bagi kebangkitan perdagangan dan perniagaan di Inggris, dengan kota-kota, terutama London, menjadi pusat kegiatan komersial.
"Inggris pada masa Dinasti Tudor lebih sehat secara ekonomi, dengan harga yang meningkat dan penuh harapan. Itu adalah periode paling makmur sejak pemerintahan Romawi."
Setelah Wabah Hitam pada tahun 1348, Inggris mengalami periode depresi yang panjang, disertai dengan depresi pertanian pada akhir abad kelima belas. Namun, seiring dengan pertumbuhan populasi, ekonomi Inggris mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang kuat. Menurut statistik, populasi Inggris sekitar 2,3 juta jiwa pada tahun 1520, yang hampir dua kali lipat menjadi 4 juta jiwa pada tahun 1600.
"Peningkatan populasi mendorong pertumbuhan ekonomi, mempercepat komersialisasi pertanian, dan mendorong produksi serta ekspor wol."
Selama periode ini, perkembangan pertanian dan kemakmuran aktivitas perdagangan bersifat internal dan eksternal satu sama lain. Lahan pertanian mulai dipagari karena tekanan populasi, yang semakin memperparah kesenjangan antara si kaya dan si miskin, yang berujung pada ketidakpuasan dan keresahan sosial.
Reformasi berakar kuat pada periode Tudor, dan konflik antara kekuasaan kerajaan Henry VIII dan otoritas gereja menjadi fokus utama sejarah. Dari masalah pernikahan awal hingga kontrol gereja di kemudian hari, hal itu mengubah wajah keagamaan negara tersebut. Para sejarawan umumnya percaya bahwa reformasi selama periode ini tidak hanya memengaruhi kepercayaan agama, tetapi juga mengubah cara seluruh masyarakat beroperasi.
“Pembentukan gereja negara mencerminkan pendefinisian ulang kekuasaan, dan Henry VIII menganggap dirinya sebagai pemimpin tertinggi gereja.”
Namun, rangkaian reformasi ini belum diakui oleh seluruh masyarakat. Ide-ide Katolik masih berakar di beberapa daerah, terutama di daerah pedesaan, dan isu-isu keagamaan sering menjadi pemicu keresahan lokal.
Pemerintahan Henry VII dan Henry VIII menunjukkan gaya dan tujuan yang berbeda. Yang pertama berfokus pada disiplin dan stabilitas keuangan, sedangkan yang terakhir cenderung pada kemewahan dan perang. Meskipun Henry VIII memperluas kekuatan angkatan lautnya, pengeluaran militernya yang besar mendorong keuangan negara ke jurang.
"Pengeluaran militer Henry VIII memberikan tekanan yang luar biasa pada keuangan negara dan pernah menyebabkan banyak faktor keresahan sosial."
Meskipun Edward VI mempromosikan Protestantisme selama masa jabatan berikutnya, ia juga menghadapi kesulitan keuangan nasional karena masa pemerintahannya yang singkat dan kebijakan yang tidak stabil, yang mencerminkan tarik-menarik antara kepentingan nasional dan agama.
Dengan berakhirnya dinasti Tudor, Inggris mengambil langkah penting menuju sistem ekonomi modern. Kelas warga negara yang muncul dan perkembangan industri keuangan membentuk dasar bagi revolusi industri di masa depan. Atas dasar ini, Inggris mendominasi perdagangan dan perniagaan pada generasi-generasi berikutnya, menunjukkan pengaruh internasional yang tak tertandingi.
"Perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial telah berkontribusi pada daya saing global Inggris."