Dalam sejarah Inggris, periode Tudor (1485-1603) merupakan periode perubahan dan kekacauan, khususnya di bidang keagamaan. Keputusan Henry VIII mengganggu lanskap keagamaan pada periode tersebut. Tindakannya tidak hanya menantang beberapa sistem kepercayaan tradisional, tetapi juga berdampak besar pada sistem ekonomi dan politik Inggris.
Dalam evaluasi sejarah selanjutnya, keputusan Henry VIII dipandang sebagai katalisator Reformasi Inggris, yang membawa Katolik Inggris dan Kristen yang sedang berkembang ke dalam konflik satu sama lain.
Sebelum Henry VIII, kehidupan beragama di Inggris hampir seluruhnya didominasi oleh Katolik Roma. Otoritas Paus yang tak terbantahkan terguncang oleh tuntutan pribadi Henry VIII. Henry VIII perlu membubarkan pernikahannya dengan istri pertamanya, Catherine, karena ia berharap untuk menikahi Anne Boleyn agar dapat menghasilkan pewaris laki-laki. Ketika Paus Clement VII menolak memenuhi tuntutannya, Henry VIII memilih untuk meninggalkan Katolik, yang kemudian memicu salah satu perpecahan agama paling signifikan dalam sejarah Inggris.
Henry VIII mengeluarkan serangkaian undang-undang, termasuk Undang-Undang Supremasi, yang secara resmi menyatakan dirinya sebagai kepala tertinggi Gereja Inggris, menggantikan Paus. Langkah ini tidak hanya memungkinkan Henry VIII untuk mengendalikan urusan gereja, tetapi juga memperkuat kekuasaan pemerintah dan membentuk sistem yang tersentralisasi.
Reformasi Henry VIII bukanlah perubahan agama yang radikal, tetapi tindakan untuk merebut kembali kekuasaan demi kepentingan nasional.
Meskipun Henry VIII secara resmi menerapkan reformasi gereja, ia masih mempertahankan banyak kepercayaan dan ritual Katolik dalam teologi. Hal ini membuat Reformasi Inggris berbeda dari Reformasi Jerman, yang secara ideologis lebih sejalan dengan ajaran Calvin dan Luther.
Dengan wafatnya Henry VIII dan pemerintahan putranya Edward VI, kebijakan keagamaan di Inggris berubah lagi. Kebijakan yang diterapkan oleh Edward VI lebih radikal, secara langsung mengubah kepercayaan agama Inggris ke Protestanisme, yang selanjutnya memperkuat pendirian untuk menentang Katolikisme. Namun, perubahan itu juga disertai dengan perlawanan dan keresahan sosial, yang menciptakan perpecahan tajam khususnya di antara umat Katolik yang konservatif.
Sejarah yang menarik selalu dijalin dengan kontradiksi. Sementara perpecahan agama membawa kemakmuran bagi Henry VIII dan para penerusnya, hal itu juga menabur benih keresahan sosial.
Dengan pemerintahan Mary I, Inggris kembali ke Katolikisme, sebuah perubahan kebijakan yang memperumit pandangan masyarakat tentang agama. Setelah serangkaian penganiayaan agama dan pertikaian politik, ketika Elizabeth I naik takhta pada tahun 1558, reformasinya didasarkan pada eklektisisme, yang mendirikan Gereja Inggris yang tidak sepenuhnya Protestan maupun sepenuhnya Katolik. Kebijakan ini sedikit meredakan konflik dalam komunitas agama, tetapi konflik masih mengintai di setiap sudut masyarakat.
Reformasi agama selama periode Tudor, khususnya praktik Henry VIII, berdampak besar pada masyarakat Inggris di kemudian hari. Selain perubahan agama, perubahan dalam struktur politik dan sosial yang ditimbulkannya juga menjadi isu penting yang mengikutinya. Dengan mencoba menganalisis faktor-faktor penting yang memengaruhi perubahan ini, kita mungkin dapat menjawab pertanyaan: Apakah perubahan seperti itu tentu saja mahal?