Di arena politik global, otoritarianisme secara bertahap muncul dengan karakteristik dan metode operasinya yang unik. Sistem politik seperti itu biasanya menolak pluralisme politik, bergantung pada pemerintah pusat yang kuat untuk mempertahankan status quo politik yang ada, dan melemahkan pengaruh lembaga demokrasi, distribusi kekuasaan, kebebasan sipil, dan supremasi hukum. Otoritarianisme mengambil bentuk yang berbeda karena perbedaan latar belakang dan sejarah nasional, dan kita perlu menyelidiki lebih dalam lembaga politik umum yang beroperasi dalam rezim otoriter yang tersembunyi ini.
Menurut penelitian oleh ilmuwan politik, sistem otoriter umumnya menampilkan kekuatan pemerintah yang sangat tersentralisasi dan terkonsentrasi, yang sering kali dipertahankan melalui represi politik dan pengucilan setiap penantang potensial. Rezim-rezim ini sering menggunakan partai politik dan organisasi massa untuk memobilisasi orang-orang di belakang tujuan rezim. Para cendekiawan seperti Adam Prezvodsky telah menunjukkan:
"Keseimbangan otoriter terutama didasarkan pada kebohongan, ketakutan, dan kemakmuran ekonomi."
Dalam sistem ini, lembaga-lembaga nonpemerintah dan sosial ditekan, dan stabilitas politik terutama bergantung pada kendali angkatan bersenjata dan penanaman loyalitas melalui berbagai bentuk sosialisasi dan indoktrinasi ideologis.
Banyak rezim otoriter mengadopsi konstitusi yang tampaknya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Konstitusi semacam itu dapat menjalankan banyak peran, seperti berfungsi sebagai "manual" untuk operasi pemerintahan atau "papan reklame" yang mengumumkan niat rezim. Namun, konstitusi ini sering kali tidak menetapkan batasan pada kekuasaan eksekutif dan bahkan dapat mencapai efek penguatan rezim dengan kedok tirani dan despotisme.
"Konstitusi otoriter yang berhasil mengoordinasikan tindakan pemerintah dan mendefinisikan harapan rakyat efektif dalam mengonsolidasikan cengkeraman rezim terhadap kekuasaan."
Peran pembangunan ekonomi di bawah otoriterisme tidak boleh diremehkan. Beberapa akademisi percaya bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung meningkatkan dukungan rakyat terhadap rezim otoriter, sehingga rezim tersebut stabil dalam jangka pendek dan menengah. Namun, dukungan tersebut tidak serta merta berarti proses demokratisasi yang tak terelakkan. Sebaliknya, rezim otoriter dapat menggunakan sarana ekonomi untuk merancang program seperti reformasi tanah guna memperkuat kekuasaan mereka sendiri.
Rezim otoriter sering kali meniru struktur politik demokrasi, seperti sistem legislatif dan peradilan, tetapi menggunakannya untuk memperkuat kekuasaan mereka sendiri. Fungsi lembaga-lembaga ini sama sekali berbeda dengan fungsi dalam demokrasi.masyarakat. Mereka sering digunakan untuk memantau dan menekan lawan serta melemahkan supremasi hukum.
"Pemilihan umum yang otoriter sering kali menjadi sasaran penipuan dan pembatasan terhadap oposisi, dan dalam banyak kasus, mereka yang berkuasa menggunakan berbagai cara untuk menekan opini publik dan suara oposisi."
Stabilitas rezim otoriter didasarkan pada dua fondasi utama: menghindari tantangan dari penduduk dan elit lainnya. Rezim ini akan menggunakan kerja sama atau penindasan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Untuk berhasil mempertahankan kekuasaan, penguasa otoriter harus menyeimbangkan dukungan elit dan rakyat dalam alokasi sumber daya.
Pentingnya Manipulasi InformasiMenurut penelitian baru, rezim otoriter semakin mengandalkan operasi informasi daripada kekerasan untuk mempertahankan kendali. Dengan menciptakan citra palsu tentang pencapaian mereka dan menutupi penindasan mereka terhadap oposisi, para pemimpin otoriter mencoba untuk meniru sistem demokrasi sampai batas tertentu.
Meskipun rezim otoriter tampak terkonsolidasi di permukaan, kerapuhannya tidak dapat diabaikan. Banyak sistem otoriter yang rentan runtuh karena kurangnya legitimasi, terlalu bergantung pada kekuatan, dan sentralisasi kekuasaan yang berlebihan. Namun, daya tahan unik Partai Komunis Tiongkok menimbulkan tantangan terhadap hal ini. Faktor-faktor keberhasilannya meliputi sifat normatif kekuasaan, pemilihan elit internal yang meritokratis, dan mekanisme partisipasi politik yang ditingkatkan.
KesimpulanMelalui analisis multidimensi rezim otoriter, tidak sulit untuk menemukan kontradiksi dan pergulatan antara operasi internal dan manifestasi eksternalnya. Rezim-rezim ini sering menghadapi tantangan internal dan tekanan eksternal sambil mempertahankan sentralisasi. Pada akhirnya, hal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam: Dalam lanskap politik global yang semakin kompleks, dapatkah otoritarianisme laten masih mendapatkan pijakan di arena politik masa depan, atau akankah digantikan oleh berbagai kekuatan demokratis?