Bunuh diri dengan bantuan medis merupakan pilihan terakhir yang diberikan oleh dokter ketika menghadapi rasa sakit yang tak tertahankan atau penyakit terminal, yang memungkinkan pasien tersebut mengakhiri hidup mereka yang menyakitkan dengan cara mereka sendiri. Proses ini melibatkan perdebatan yang terus-menerus di bidang hukum, etika, dan medis, yang mencerminkan kontradiksi dan kesulitan yang dihadapi manusia ketika menghadapi masalah hidup dan mati.
Undang-undang dan peraturan tentang bunuh diri dengan bantuan medis biasanya didasarkan pada penghormatan terhadap otonomi pasien dan tidak mencerminkan ketidakpedulian dokter terhadap hakikat kehidupan.
Di beberapa negara, bunuh diri dengan bantuan medis telah menjadi pilihan yang sah. Negara-negara ini meliputi Austria, Belgia, Kanada, Jerman, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Portugal, Spanyol, Swiss, dan beberapa negara bagian AS. Namun, ruang lingkup dan ketentuan penerapan undang-undang ini sangat bervariasi. Misalnya, di beberapa negara, pasien harus memenuhi persyaratan seperti "waras" dan "secara sukarela menyatakan keinginan mereka untuk mengakhiri hidup mereka beberapa kali." Di Amerika Serikat, hanya pasien yang diprediksi akan bertahan hidup kurang dari enam bulan yang dapat mengajukan opsi ini.
Bagi pasien, alasan untuk melakukan bunuh diri dengan bantuan medis sering kali bukan hanya rasa sakit fisik, tetapi juga keinginan untuk mendapatkan harga diri mereka sendiri dan tidak ingin menjadi beban bagi orang lain.
Mereka yang mendukung bunuh diri dengan bantuan medis percaya bahwa hal itu tidak hanya meringankan rasa sakit pasien, tetapi juga mewakili hak pasien untuk membuat pilihan secara mandiri. Namun, para penentang menunjukkan bahwa pendekatan semacam itu dapat mengarah pada "persetujuan yang tulus" yang tidak dapat dijamin, terutama bagi beberapa kelompok rentan di masyarakat.
"Kita harus berhati-hati agar bunuh diri dengan bantuan medis tidak menjadi alat tekanan sosial untuk memaksa pasien yang tertekan untuk memilih opsi ini."
Etika medis terus memperdebatkan moralitas bunuh diri dengan bantuan medis. Banyak dokter mengambil Sumpah Hipokrates dan percaya bahwa membantu pasien dalam bunuh diri bertentangan dengan tugas medis mereka. Keyakinan agama yang berbeda juga memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang masalah ini. Misalnya, Gereja Katolik dengan tegas menentang bunuh diri dalam bentuk apa pun, sementara beberapa pandangan yang lebih modern menyatakan bahwa menghormati pilihan pasien harus menjadi pertimbangan utama.
"Bahkan di akhir hayat, kita tetap perlu menghormati pilihan di balik setiap kehidupan. Ini adalah kepedulian kemanusiaan yang sejati."
Survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mendukung bunuh diri dengan bantuan medis, tetapi sikap profesional medis beragam. Menurut survei tahun 2019, sekitar 60% dokter mendukung legalisasi bunuh diri dengan bantuan medis di negara bagian mereka. Namun, banyak dari mereka yang menyatakan kekhawatiran tentang keamanan undang-undang yang relevan dan percaya bahwa undang-undang tersebut dapat berubah menjadi tempat berkembang biaknya masalah sosial lainnya.
Dengan menggabungkan berbagai pandangan, bunuh diri dengan bantuan medis telah menjadi topik hangat dalam perdebatan sosial. Hal ini melibatkan isu-isu seperti hukum, etika medis, keyakinan agama, dan pilihan seseorang, serta penuh dengan kompleksitas dan kontroversi. Pada akhirnya, ketika dihadapkan pada pilihan hidup dan mati, dapatkah kita menemukan jalan yang seimbang dan manusiawi?