Cara sejarah ditulis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk gender, ras, dan status sosial ekonomi, yang sering kali memengaruhi pemahaman kita tentang masa lalu. Pada tahun 2014, ahli teori pascakolonial terkenal Gayatri Chakravorty Spivak mengusulkan dalam sebuah seminar tentang "Membentuk Kembali Sejarah" bahwa sangat penting untuk mengkaji ulang perspektif sejarah, terutama dalam konteks gender dan budaya yang saat ini ditekan. Empat kata kunci yang disebutkannya: nasionalisme, internasionalisme, sekularisme, dan kulturalisme, tidak hanya menyediakan kerangka kerja untuk penafsiran ulang sejarah, tetapi juga menyempurnakan cara kita memahami "orang lain" dan membangun identitas kita.
Empat kata kunci Spivak memungkinkan kita untuk mengkaji ulang struktur kekuasaan dalam proses penulisan sejarah dan keterbatasan budaya yang diimplikasikannya. Misalnya:
Nasionalisme sering kali menekankan keunikan budaya, tetapi secara tidak kasat mata meminggirkan peran berbagai suara.
Hal ini menunjukkan bahwa nasionalisme dalam penulisan sejarah dapat mengecualikan pandangan yang bertentangan dengan narasi arus utama. Jika melihat lebih jauh, Spivak percaya:
Konsep internasionalisme dapat mendobrak batasan nasional dan mendorong pemahaman serta toleransi terhadap berbagai budaya dan sejarahnya.
Dalam konteks globalisasi yang semakin dalam saat ini, konsep "yang lain" menjadi semakin penting. Spivak menekankan bahwa sejarah tidaklah statis, tetapi penuh dengan peluang untuk komunikasi dan dialog. Melalui perspektifnya, kita menemukan bahwa sekularisme bukan hanya penolakan terhadap agama, tetapi juga penghormatan terhadap gaya hidup orang lain. Dia berkata:
Pedang bermata dua dari kulturalismeKita perlu membangun jembatan, bukan tembok, untuk menjembatani perbedaan budaya.
Kulturalisme mengandung makna yang kompleks dalam analisis Spivak. Di satu sisi, kulturalisme dapat digunakan untuk menekankan keberagaman budaya, tetapi di sisi lain, kulturalisme juga dapat menjadi alat untuk mengecualikan orang lain. Dia mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap kediktatoran budaya yang ditimbulkan oleh kulturalisme. Panduan tersebut tidak hanya berlaku untuk sejarah, tetapi juga meluas ke disiplin ilmu termasuk antropologi dan sosiologi:
Sejarah adalah kisah budaya, dan penulisan budaya adalah proses yang tidak pernah berakhir.
Pemikiran Spivak menantang banyak pandangan sejarah yang didasarkan pada narasi tradisional, dengan mengusulkan pengalaman manusia yang membuat kita lebih reflektif:
Dalam proses pembentukan kembali sejarah, kisah-kisah individual sangat diperlukan, karena setiap sejarah terjalin dengan kehidupan banyak individu.
Memahami sejarah kolektif melalui perspektif individu memungkinkan kita untuk mengungkap kisah-kisah yang tidak diketahui, yang juga mencerminkan advokasi Spivak untuk memikirkan kembali identitas diri sendiri melalui pengalaman orang lain.
Di era ledakan informasi dan berbagai perspektif ini, kita membutuhkan lebih banyak akademisi seperti Spivak untuk membantu kita memahami keragaman dan kompleksitas sejarah. Empat kata kuncinya membuat kita berpikir tentang cara merekonstruksi narasi sejarah dalam jalinan budaya yang kompleks saat ini. Oleh karena itu, kita tidak dapat menahan diri untuk bertanya: Dalam penulisan sejarah di masa mendatang, dapatkah kita sepenuhnya menerima suara setiap orang lain?