Dalam masyarakat saat ini, krisis narsisme budaya menjadi semakin serius, dan kognisi serta nilai orang-orang terhadap perbedaan secara bertahap memudar. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi identitas pribadi, tetapi juga menimbulkan ancaman bagi struktur sosial dan keragaman budaya. Baudrillard melakukan analisis mendalam tentang situasi ini dari sudut pandangnya yang unik, dengan mengusulkan bahwa hilangnya perbedaan bukan hanya akibat homogenisasi budaya, tetapi juga fenomena yang didorong oleh media dan konsumerisme.
Baudrillard percaya bahwa masyarakat kontemporer semakin condong ke arah dunia "simulasi", yang membuat batas antara realitas dan virtualitas semakin kabur.
Konsep perbedaan berasal dari filsafat dan antropologi, dan berarti "keberadaan orang lain". Baudrillard menunjukkan bahwa konsep ini menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam masyarakat kontemporer. Pengaruh konsumerisme dan media yang meluas telah menyebabkan banyak orang mengabaikan keberadaan orang lain dan malah mengejar budaya atau ide yang mirip dengan budaya mereka sendiri, yang tidak dapat mempertahankan keragaman budaya dalam jangka panjang.
Dalam pandangan Baudrillard, pembentukan identitas bergantung pada keberadaan orang lain. Jika tidak ada pengakuan dan pemahaman terhadap orang lain dalam masyarakat, identitas diri akan mengalami krisis. Ia menekankan bahwa kekayaan budaya berasal dari interaksi dengan orang lain. Interaksi ini bukan hanya hubungan interpersonal, tetapi juga pertukaran dan benturan budaya.
Baudrillard berkata, "Dalam masyarakat yang terus-menerus mengacu pada budayanya sendiri, orang lain yang nyata menghilang dan yang tersisa adalah citra dan tiruan."
Media memainkan peran utama dalam membentuk persepsi kita terhadap orang lain. Dalam analisis Baudrillard, ketika media cenderung menyederhanakan fenomena budaya yang kompleks, citra orang lain yang kita lihat sering kali merupakan simbol yang dilucuti dari latar belakang budayanya. Penyederhanaan dan objektifikasi orang lain ini membuat orang tidak mungkin mengalami perbedaan yang sebenarnya.
Munculnya budaya konsumen juga memperburuk fenomena ini. Orang terus-menerus mengejar pengalaman konsumsi budaya baru, tetapi pengalaman ini sering terjadi tanpa adanya pertukaran budaya yang nyata. Baudrillard percaya bahwa konsumsi budaya memperlakukan orang lain hanya sebagai sumber daya konsumsi, bukan entitas dengan identitas independennya sendiri. Pandangan ini mengungkap masalah inti narsisme budaya.
Ia mencatat bahwa "konsumerisme telah mengondisikan orang untuk menggunakan citra orang lain sebagai latar belakang, alih-alih mengenali keunikan mereka."
Hilangnya perbedaan tidak hanya berarti kemiskinan budaya, tetapi juga memengaruhi sumber kreativitas. Baudrillard menekankan bahwa kekuatan pendorong penciptaan budaya terletak pada dialog antara orang lain dan diri sendiri. Dialog ini dapat memunculkan ide-ide baru, ekspresi artistik baru, dan bentuk-bentuk budaya yang sama sekali baru. Namun, ketika dialog ini memudar, penciptaan budaya pun mandek.
Dengan latar belakang seperti itu, menjadi sangat penting untuk memahami kembali makna perbedaan. Para ahli budaya harus mengeksplorasi cara menemukan resonansi dengan orang lain dalam suasana budaya saat ini dan mempromosikan keberagaman dan dialog. Pandangan Baudrillard mengingatkan kita bahwa hanya ketika kita benar-benar menghargai keberadaan orang lain, kita dapat benar-benar memperkaya kehidupan budaya kita.
Ia pernah berkata, "Budaya bukanlah entitas yang terisolasi, tetapi simfoni yang terdiri dari berbagai suara."
Dengan kemajuan globalisasi dan digitalisasi yang berkelanjutan, pemikiran tentang perbedaan menjadi semakin penting. Baudrillard mengajak kita untuk mengkaji ulang kondisi budaya masyarakat kontemporer dan meminta kita untuk menyadari dampak perbedaan terhadap identitas dan keberagaman budaya kita. Pada titik ini, kita tidak dapat menahan diri untuk bertanya: Di dunia yang tampaknya semakin mirip ini, dapatkah kita mendapatkan kembali penghargaan kita terhadap orang lain dan menghindari krisis homogenitas budaya dan narsisme?