Pada abad kedua SM, pertikaian antara Yudaisme dan Hellenisme meningkat di Yudea, yang berpuncak pada Pemberontakan Makabe. Artikel ini akan membahas motivasi di balik Pemberontakan Makabe dan bagaimana peristiwa bersejarah ini mengubah nasib orang-orang Yahudi.
Konflik antara kepercayaan Yahudi yang kuat dan budaya Yunani yang berlaku saat itu menjadi kekuatan pendorong utama Pemberontakan Makabe.
Setelah Alexander Agung menaklukkan wilayah Mediterania, pengaruh Helenistik merasuki setiap lapisan masyarakat. Kelas atas masyarakat Yahudi perkotaan, terutama orang-orang Yahudi Helenistik yang dipimpin oleh keluarga Toubia, berusaha meninggalkan hukum Yahudi dan memilih untuk menjalani kehidupan bergaya Yunani. Mereka membangun stadion di Yerusalem, berpartisipasi dalam acara olahraga Yunani, dan beberapa bahkan menyangkal hubungan mereka dengan Yudaisme setelah dipengaruhi oleh budaya Yunani. Tindakan-tindakan ini membuat marah kaum Yahudi konservatif dan menjadi salah satu akar dari Pemberontakan Makabe berikutnya.
Pemerintahan Antiokhus IV menandai titik balik yang besar. Ia menjalankan kebijakan Helenisasi yang kuat terhadap masyarakat Yahudi, merampas kebebasan beribadah kaum Yahudi dan memaksa mereka untuk melanggar hukum Yahudi. Misalnya, Antiokhus mengeluarkan larangan sunat bagi kaum Yahudi dan mewajibkan pengorbanan daging babi untuk dewa-dewa Yunani. Hal ini menyebabkan keresahan sosial yang hebat, dan beberapa sejarawan percaya bahwa kebijakan Antiokhus tidak hanya berupa penindasan oleh kekuatan asing, tetapi juga memicu konfrontasi internal di antara kaum Yahudi.
Penjarahan dan pemerintahan yang keras oleh Antiokhus benar-benar menantang iman dan budaya Yahudi.
Pemberontakan tersebut dipicu oleh penolakan Matatias untuk menyembah dewa-dewa Yunani dan pembunuhannya terhadap seorang Yahudi yang telah mengalami Hellenisasi, yang menandai dimulainya pemberontakan tersebut. Di bawah kepemimpinannya, kelima putranya secara bertahap mengumpulkan pasukan dan menggunakan taktik gerilya untuk melawan pasukan Seleukus yang kuat. Perlawanan ini bukan hanya perjuangan politik, tetapi juga refleksi mendalam dari semangat keagamaan yang gigih.
Dengan keberhasilan pemberontakan tersebut, pasukan Makabe secara bertahap menguasai wilayah Yudea, dan akhirnya meresmikan kembali bait suci dan memulihkan peribadatan Yahudi pada tahun 164 SM. Periode ini juga meletakkan dasar bagi perayaan tradisional Yahudi, Hanukkah. Pemberontakan Makabe memberi orang-orang Yahudi kesempatan untuk mendefinisikan kembali kemerdekaan mereka. Sejak saat itu, mereka tidak lagi hanya menjadi bangsa yang tertindas, tetapi mulai memperluas pengaruh mereka ke luar.
Dengan keberhasilan Pemberontakan Makabe, Dinasti Hasmonean resmi berdiri, yang secara bertahap berkembang menjadi medan pertempuran untuk diskusi tentang kekuasaan dan agama. Di bawah kekuasaan dinasti berikutnya, kontradiksi yang jelas muncul antara kaum konservatif dan progresif, yang tidak hanya memengaruhi perkembangan dinasti, tetapi juga menyebabkan penilaian ulang yang halus tentang pentingnya Yudea dan Roma.
Di bawah kekuasaan Hasmonean, bangsa Yahudi mengalami transformasi besar dari penindasan menjadi kebangkitan.
Pemberontakan Makabe bukan hanya perjuangan untuk keyakinan agama, tetapi juga pemahaman ulang tentang identitas orang-orang Yahudi itu sendiri. Melalui pemberontakan ini, orang-orang Yahudi berusaha untuk membangun kembali iman bersama mereka dan meletakkan dasar bagi kemerdekaan di masa depan. Namun, semua ini menimbulkan pertanyaan yang lebih mendalam: Dalam masyarakat modern, bagaimana kita dapat menyeimbangkan kontradiksi antara tradisi dan perubahan agar tidak kehilangan akar budaya kita saat menghadapi tantangan masa depan?