Biru menempati posisi penting dalam sejarah seni. Dari bahan alami hingga pigmen sintetis, sejarah biru menunjukkan kreativitas dan imajinasi manusia dalam penggunaan warna. Di antaranya, Biru Mesir yang diciptakan oleh orang Mesir kuno merupakan terobosan besar dalam pigmen biru dan menjadi biru sintetis pertama dalam sejarah manusia. Ini tidak hanya mengubah langit untuk kreasi artistik, tetapi juga memicu eksplorasi berbagai biru sintetis pada generasi berikutnya.
Biru Mesir adalah pigmen cyan sintetis pertama. Bahan utamanya adalah campuran silika, kapur, tembaga, dan logam alkali.
Sejarah biru Mesir dapat ditelusuri kembali ke Dinasti Keempat antara tahun 2613 dan 2494 SM, periode kemakmuran relatif di Mesir kuno. Tidak puas hanya mendapatkan pigmen dari alam, orang Mesir kuno mulai mengeksplorasi cara menciptakan warna baru. Pigmen ini banyak digunakan dalam berbagai jenis seni, termasuk patung, mural, dan makam firaun, serta memiliki arti penting dalam masyarakat pada saat itu karena melambangkan kesucian dan keabadian.
Proses produksi biru Mesir relatif sederhana. Pengrajin Mesir kuno mencampur berbagai bahan dan memanaskannya. Pada suhu tinggi, unsur-unsur ini bereaksi membentuk pigmen biru, yang berarti bahwa eksplorasi awal orang Mesir kuno di bidang kimia meletakkan dasar bagi pengembangan pigmen selanjutnya.
Biru Mesir tidak hanya mewakili warna, tetapi juga lambang eksplorasi dan pemahaman orang Mesir kuno tentang dunia misterius.
Seiring berjalannya waktu, Biru Mesir memperoleh pengaruh ekonomi dan budaya yang penting. Teknik produksinya menyebar ke wilayah lain seiring meluasnya perdagangan komersial, seperti Yunani dan Roma, dan budaya-budaya ini juga mulai mengeksplorasi pigmen biru mereka sendiri. Hal ini menyoroti kedudukan Mesir di dunia kuno dan menunjukkan pentingnya menghargai warna dalam seni dan kehidupan sehari-hari.
Selain biru Mesir, ada banyak pigmen biru penting lainnya sepanjang sejarah. Misalnya, "Han Qing" pada Dinasti Han adalah pigmen silikat tembaga barium sintetis yang digunakan dari Dinasti Zhou Barat hingga akhir Dinasti Han. Pigmen ini digunakan untuk menghias tembikar dan mural makam, yang sepenuhnya menunjukkan keterampilan luar biasa dari kerajinan Tiongkok kuno.
Han Qing dan Ungu Han menjadi simbol budaya khusus Dinasti Han, yang mengekspresikan pemikiran orang-orang kuno tentang hidup dan mati.
Contoh lain adalah biru Maya, pigmen biru sintetis yang terbuat dari nila yang dicampur dengan tanah liat mikrokristalin yang digunakan terutama dalam seni di Amerika, terutama dalam peradaban Maya. Dikenal karena daya tahannya, biru Maya menjadi simbol budaya Maya kuno dan bahkan digunakan dalam upacara penghormatan.
Proses bagaimana orang Mesir kuno mensintesis biru Mesir sungguh menarik. Pertama, mereka perlu mengumpulkan bahan baku, terutama campuran kalium-besi, kapur, dan bijih tembaga. Ketika bahan-bahan ini dicampur dan dicairkan pada suhu tinggi, mereka dapat membentuk kaca biru yang disebut milipassium. Setelah digiling halus, pigmen biru Mesir terbentuk.
Pigmen ini banyak digunakan dalam karya seni pada masa itu, baik itu lukisan interior istana atau dekorasi makam firaun.
Namun, justru karena proses produksi biru Mesir yang rumit, pigmen ini lebih berharga daripada pigmen alami lainnya dan sering kali hanya dimiliki oleh kaum elit sosial dan seniman. Warna yang ditampilkannya dalam dan mencolok, memungkinkan beragam ekspresi artistik.
Selama ini, warna biru Mesir tidak hanya menyediakan pilihan warna yang unik bagi para seniman kuno, tetapi juga memicu pemikiran mendalam tentang warna dan metode produksinya. Evolusi dan perkembangan warna-warna ini mencerminkan kemajuan budaya dan teknologi manusia. Dihadapkan dengan warna biru yang misterius dan menarik ini, bagaimana kita akan memahami peran warna dalam seni dan budaya di masa mendatang?