Norma Seksual Sepanjang Sejarah: Budaya Mana yang Menerima Homoseksualitas?

Sikap sosial terhadap homoseksualitas sangat bervariasi di berbagai budaya dan periode sejarah, seperti halnya pandangan tentang hasrat seksual, perilaku seksual, dan hubungan interpersonal. Semua budaya memiliki nilai-nilai mereka sendiri tentang seks yang pantas dan tidak pantas; beberapa budaya mengambil pandangan sarkastik tentang cinta dan seksualitas sesama jenis, sementara yang lain sepenuhnya merangkul perilaku ini.

Banyak budaya dunia pernah menganggap seks prokreasi dalam hubungan yang disetujui sebagai norma seksual—kadang-kadang satu-satunya pilihan, kadang-kadang di samping norma cinta sesama jenis.

Misalnya, di beberapa masyarakat kuno, cinta dan seks sesama jenis dianggap alami. Di Yunani kuno, sikap terhadap cinta pria-pria relatif toleran dan sering dikaitkan dengan konsep pendidikan dan bimbingan. Di Mesir kuno, data historis mencatat beberapa hubungan yang terkait dengan homoseksualitas, yang menunjukkan toleransi masyarakat kuno terhadap jenis seks ini.

Seiring berjalannya waktu, banyak budaya juga memandang homoseksualitas sebagai perilaku yang tidak bermoral atau memalukan. Agama-agama tertentu, seperti Kristen dan Islam, pada waktu-waktu tertentu mengutuk dan menghukum perilaku homoseksual dengan keras.

Di beberapa sekte yang dipengaruhi oleh tradisi agama Abrahamik, perilaku homoseksual pernah dikutuk dan, dalam beberapa kasus, dihukum dengan keras.

Sejak tahun 1970-an, penerimaan global terhadap homoseksualitas telah meningkat secara bertahap, terutama dalam survei publik di Amerika Utara, Uni Eropa, dan Amerika Latin, yang telah menunjukkan penerimaan yang luas terhadap homoseksualitas. Namun, masih banyak tempat, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan sebagian wilayah Afrika, di mana penolakan terhadap homoseksualitas masih mengakar.

Menurut Survei Sikap Global 2013 dari Pew Research Center, penerimaan terhadap homoseksualitas umumnya tinggi di Amerika Utara dan Uni Eropa, tetapi umumnya ditolak di negara-negara dan kawasan Muslim seperti Afrika.

Selain itu, latar belakang budaya yang berbeda akan berdampak pada persepsi terhadap homoseksualitas. Ilmuwan sosial memperingatkan kita agar tidak memaksakan asumsi Barat kontemporer tentang gender dan seksualitas pada budaya lain. Misalnya, dalam budaya Bugis di Indonesia, seorang wanita yang berpakaian dengan cara maskulin dan menikahi seorang wanita dianggap sebagai jenis kelamin ketiga, yang tidak dianggap homoseksual dalam budaya ini.

Cendekiawan kontemporer berhati-hati dalam menerapkan asumsi Barat kontemporer tentang gender dan seksualitas pada waktu dan tempat lain; apa yang mungkin tampak sebagai perilaku seksual sesama jenis bagi orang-orang di beberapa budaya mungkin tidak dianggap sebagai perilaku "homoseksual" atau "seksual".

Lebih jauh, sikap terhadap homoseksualitas juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Penelitian menunjukkan bahwa generasi muda lebih menerima daripada generasi tua, dan wanita umumnya memiliki sikap yang lebih toleran terhadap homoseksualitas daripada pria. Dalam masyarakat yang melibatkan struktur kekuasaan, tingkat penerimaan homoseksualitas sering kali terkait erat dengan perkembangan ekonomi dan latar belakang agama dari budaya tersebut.

Secara hukum, status hukum homoseksualitas bervariasi di seluruh dunia. Sekitar 70 negara melarang perilaku homoseksual dan menjadikannya ilegal di beberapa tempat. Di beberapa negara, meskipun perilaku homoseksual legal, perlindungan hukum tidak lengkap, sehingga banyak pasangan sesama jenis masih menghadapi tantangan pengakuan hukum yang tidak memadai.

Di banyak negara, status hukum antara pasangan tidak setara, yang dapat mengakibatkan salah satu pihak dalam hubungan kumpul kebo kehilangan hak hukumnya, yang sangat memengaruhi kualitas hidupnya.

Meskipun penerimaan global terhadap homoseksualitas terus meningkat, penghinaan dan stigmatisasi terhadap homoseksualitas masih ada, terutama di negara-negara dengan ekonomi yang kurang berkembang atau wilayah dengan agama yang kuat. Perlawanan sosial dapat menyebabkan kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi hak asasi, dan kondisi ini masih mendorong perluasan gerakan pembebasan komunitas LGBT.

Menghadapi berbagai tantangan hukum dan budaya, kita dapat bertanya: Akankah masyarakat masa depan lebih inklusif dalam memahami dan menerima keragaman berbagai orientasi seksual?

Trending Knowledge

Mengapa beberapa agama begitu keras terhadap homoseksualitas? Apa cerita di balik ini?
Sepanjang sejarah, masyarakat manusia memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap homoseksualitas, khususnya di berbagai budaya dan periode waktu. Secara tradisional, banyak kelompok etnis dan agama yan
Mengapa sikap sosial terhadap homoseksualitas berbeda-beda menurut budaya? Bisakah Anda menebak alasannya?
Berbagai budaya memiliki tingkat penerimaan yang sangat berbeda terhadap homoseksualitas. Fenomena ini tidak hanya terkait dengan kepercayaan budaya, tetapi juga dipengaruhi oleh sejarah, agama, ekono

Responses