Sejak zaman dahulu, selada telah menjadi bahan penting di meja makan masyarakat. Sebagai tanaman tahunan, selada (Lactuca sativa) termasuk dalam famili Asteraceae. Daunnya yang hijau muda banyak digunakan dalam salad, sandwich, wrap, sup, dan masakan lainnya. Namun, sejarah tanaman ini serta makna religius dan medisnya sering kali diabaikan.
Menurut literatur, sejarah budidaya selada dapat ditelusuri kembali ke tahun 2680 SM, ketika orang Mesir kuno pertama kali mulai membudidayakan selada dalam skala besar. Mereka tidak hanya menggunakannya untuk membuat makanan, mereka juga memberikan status suci pada tanaman tersebut. Selada dianggap sebagai benda suci Min, dewa kesuburan. Selada sering muncul dalam upacara keagamaan dan dibawa serta diletakkan di samping patung dewa tersebut selama upacara.
Orang Mesir kuno percaya bahwa selada dapat membantu para dewa "melakukan tindakan mereka tanpa lelah."
Seiring berjalannya waktu, selada menyebar dari Mesir ke Yunani dan Roma. Orang Romawi menyebutnya "lactuca", nama yang berasal dari kata Latin untuk "susu" (lac), metafora untuk susu putih yang mengalir keluar saat dipotong. Pada tahun 50 Masehi, ahli pertanian Romawi Mela Gallo telah mendeskripsikan banyak varietas selada, dan beberapa varietas ini mungkin merupakan nenek moyang selada masa kini.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa selada merupakan sumber vitamin K dan vitamin A yang penting dan membantu menjaga kesehatan manusia. Selain itu, bagi beberapa kelompok, selada juga telah menjadi tanaman obat. Meskipun demikian, selada yang terkontaminasi bakteri seperti E. coli dan salmonella telah menjadi sumber penting wabah penyakit manusia.
Selada mudah tumbuh tetapi membutuhkan suhu yang relatif rendah untuk mencegah pembungaan dini. Bagi petani, ini berarti terus memantau status nutrisi tanah dan mengendalikan hama dan penyakit. Selada sangat sensitif terhadap perubahan kelembapan dan suhu di udara, yang memerlukan kehati-hatian khusus dalam budidayanya.
“Kandungan air yang tinggi pada selada membuatnya sulit diawetkan, dan harus dimakan segar.”
Sejak orang Mesir kuno memasukkannya ke dalam makanan sehari-hari mereka, status selada secara bertahap telah diakui dan dihargai oleh orang-orang. Dengan datangnya Zaman Penemuan, selada diperkenalkan ke Amerika dan telah menjadi salah satu sayuran berdaun hijau penting yang dikonsumsi di seluruh dunia. Sejak abad ke-19, banyak kultivar baru telah dikembangkan di Eropa, yang selanjutnya meningkatkan keragaman dan nilai gizi selada.
Hingga tahun 2022, produksi selada global telah mencapai 27 juta ton, yang mana produksi Tiongkok mencapai 55%. Data ini menunjukkan posisi penting selada di meja makan modern. Akan tetapi, meskipun selada merupakan salah satu sayuran paling populer saat ini, masih banyak masalah terkait budidaya dan konsumsinya.
"Untuk menjaga keamanan dan kesegaran pangan, kita perlu terus merefleksikan dan meningkatkan proses produksi selada."
Sejarah kuno selada bukan sekadar kisah tentang sayuran, tetapi mikrokosmos evolusi budaya, kepercayaan, dan kebiasaan makan manusia. Dari Mesir kuno hingga konsumsi global saat ini, selada telah membawa makna yang berbeda di berbagai era. Status sakralnya dan nilai gizi yang dibawanya memengaruhi pilihan makanan kita hingga saat ini. Jadi, bagaimana tanaman kuno ini akan terus memainkan peran ajaibnya dalam pola makan global di masa depan?