Dalam kosmologi, model steady-state, atau teori steady-state, menyediakan alternatif untuk teori Big Bang. Menurut model steady-state, saat alam semesta mengembang, kepadatan materi tetap konstan karena penciptaan materi yang berkelanjutan di alam semesta, sehingga teori tersebut mengikuti prinsip kosmologi sempurna, yang menyatakan bahwa alam semesta yang dapat diamati selalu sama di mana-mana.
Model steady-state universe menyiratkan bahwa alam semesta tidak memiliki awal dan akhir. Namun, pandangan ini menghadapi tantangan observasi yang semakin meningkat.
Jika menengok kembali sejarah, ekspansi alam semesta ditemukan melalui pengamatan Edwin Hubble. Saat itu, model statis alam semesta yang diajukan oleh Einstein pada tahun 1917 dianggap tidak stabil. Teori Big Bang, yang pertama kali diajukan oleh Georges Lemaître, menyatakan bahwa alam semesta memiliki usia yang terbatas dan berevolusi melalui pendinginan, ekspansi, dan keruntuhan gravitasi. Dalam model kondisi mapan, meskipun alam semesta mengembang, penampakannya tidak berubah seiring waktu, konsisten dengan prinsip kosmologi sempurna. Pengembang teori tersebut, Hermann Bondi, Thomas Gold, dan Fred Hoyle, menerbitkan makalah penting tahun 1948 yang mengusulkan proses penciptaan berkelanjutan. Model fisik alam semesta.
Namun, selama pengamatan pada tahun 1950-an dan 1960-an, model kondisi mapan mulai menunjukkan masalah. Pengamatan pada saat itu menunjukkan bahwa alam semesta memang berubah. Sumber-sumber bebas galaksi yang sangat bercahaya, seperti quasar dan galaksi radio, hanya ditemukan pada jarak yang sangat jauh, yang berarti mereka hanya ada di masa lalu dan berbeda dari distribusi yang diprediksi oleh model kondisi mapan. Prediksi teori Big Bang dikonfirmasi, dan uji statistik berikutnya dengan cepat mengesampingkan kelayakan model kondisi mapan.
Bukti observasi menunjukkan bahwa alam semesta tidak statis, sebuah penemuan yang berkontribusi pada dominasi teori Big Bang.
Penemuan Radiasi Latar Belakang Gelombang Mikro Kosmik juga menandai kegagalan lebih lanjut dari model keadaan tetap. Keseragaman radiasi ini dan spektrum benda hitam yang hampir ideal sulit dijelaskan oleh produksi sebagian besar sumber debu bintang, yang dengan jelas menunjukkan kemungkinan teori Big Bang. Bahkan di antara para pendukung teori tersebut, harapan akan adanya kekurangan semakin diabaikan. Dalam lingkungan ini, daya tarik model keadaan tetap secara bertahap memudar, dan para penganutnya dihadapkan pada kenyataan yang tak terbantahkan.
Selain hasil observasi, salah satu asumsi mendasar teori keadaan tetap, Prinsip Kosmologi, juga telah ditentang dalam beberapa tahun terakhir. Pengamatan terbaru alam semesta menunjukkan bahwa alam semesta tidak sepenuhnya simetris di semua arah dan posisi, sehingga menghambat efektivitas model kondisi mapan. Hingga saat ini, para ilmuwan menemukan beberapa anomali yang tampak, termasuk bias hemisferik dalam pengukuran latar belakang gelombang mikro kosmik.
Banyak penemuan struktural besar baru yang menantang persyaratan keseragaman, beberapa di antaranya berada di luar apa yang dapat dijelaskan oleh Model Standar.
Pada tahun 1993, ilmuwan Fred Hoyle, George Burbage, dan Jayant Narlikar mengusulkan pandangan kondisi mapan baru, yaitu kosmologi Kuasi-Tenang. Kosmologi Keadaan (QSS). Model ini mencoba menjelaskan data observasi baru yang gagal diatasi oleh teori kondisi mapan awal, dengan mengusulkan bahwa sementara alam semesta terus-menerus diciptakan, minibang lainnya terjadi. Namun terlepas dari ide-ide baru, model QSS masih dianggap oleh para ilmuwan arus utama memiliki banyak masalah yang belum terselesaikan.
Secara umum, meskipun teori jagat raya kondisi mapan mendapat sejumlah dukungan di awal-awal pengajuannya, statusnya semakin terpinggirkan seiring berkembangnya bukti-bukti pengamatan. Saat ini, komunitas ilmiah hampir sepakat bahwa teori Big Bang adalah model terbaik untuk menjelaskan asal-usul jagat raya. Jadi, imajinasi dan penemuan seperti apa yang akan ada tentang masa depan jagat raya kita?