Dalam bidang hukum pidana, kesaksian saksi mata dianggap sebagai bentuk bukti langsung. Namun, menurut Innocence Project, kesalahan identifikasi saksi mata merupakan penyebab utama dari kesalahan putusan di seluruh negeri. Hal ini tidak hanya menyoroti kerapuhan kesaksian saksi mata, tetapi juga mengungkap tantangan yang dihadapi sistem hukum dalam hal ini. Dalam banyak kasus, terdapat kesenjangan besar antara ingatan saksi mata dan kebenaran, yang bahkan telah membuat khawatir komunitas penelitian ilmu kognitif.
Ingatan saksi mata rentan terhadap berbagai faktor, yang dapat membuat kesaksian mereka berpotensi tidak dapat diandalkan.
Innocence Project telah membantu membebaskan 214 pria yang dihukum secara salah berdasarkan kesaksian saksi mata. Salah satu kasus yang paling mencolok adalah kisah Jennifer Thompson. Pada tahun 1984, di North Carolina, Thompson diserang. Menghadapi situasi yang mengerikan ini, ia berusaha keras mengingat seperti apa rupa penyerangnya. Namun, pengujian DNA akhirnya mengungkapkan bahwa Thompson telah mengidentifikasi orang yang benar-benar tidak bersalah.
Kesaksian palsu Thompson, yang menyebabkan pemenjaraan seorang pria yang tidak bersalah, mengingatkan kita bahwa keandalan ingatan saksi mata dipertanyakan.
Ada banyak alasan terjadinya kesalahan saksi mata, yang dapat dibagi menjadi "variabel sistematis" dan "variabel yang diperkirakan". Yang pertama mengacu pada faktor prosedural dalam proses pengumpulan bukti oleh polisi, sedangkan yang kedua mengacu pada karakteristik yang terkait dengan situasi pengamat.
Selama prosedur identifikasi yang dilakukan oleh petugas polisi, banyak faktor yang dapat memengaruhi keakuratan identifikasi. Misalnya, ketika polisi menunjukkan foto yang tidak menyertakan tersangka sebenarnya, para saksi mungkin mengandalkan "penilaian relatif" untuk memilih orang yang paling mirip dengan tersangka. Manajemen prosedur yang tepat dapat meningkatkan kredibilitas bukti secara signifikan.
Ketika merancang prosedur investigasi polisi, praktik terbaik harus diikuti, seperti memastikan bahwa tersangka dibedakan dengan jelas dari orang yang tidak bersalah dan menggunakan metode pengujian buta untuk identifikasi.
Faktor-faktor yang terkait dengan keadaan emosional saksi sendiri dan tempat kejadian yang mereka amati juga dapat memengaruhi keakuratan identifikasi. Misalnya, ketika saksi dihadapkan pada situasi yang penuh tekanan, ingatan mereka tentang berbagai peristiwa sering kali tidak dapat diandalkan. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa keakuratan identifikasi lintas ras menurun secara signifikan, dan bahkan ketika ada riwayat pertemuan tatap muka, tingkat keberhasilan identifikasi tetap menjadi masalah.
Faktor eksternal seperti stres, kecemasan, dan perbedaan ras dapat memengaruhi keakuratan ingatan saksi mata secara signifikan, yang perlu mendapat perhatian dalam sistem hukum.
Di Amerika Serikat, sistem peradilan secara bertahap menyadari kerapuhan kesaksian saksi mata. Mahkamah Agung AS secara historis menekankan bahwa keandalan kesaksian saksi mata memerlukan peninjauan lebih lanjut. Masih ada tantangan hukum terkait pernyataan kepercayaan saksi mata, karena kesaksian saksi mata selanjutnya sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, yang pada gilirannya memengaruhi kewajaran kasus.
Sistem hukum perlu mengadopsi pendekatan yang lebih ketat untuk meningkatkan keaslian dan keandalan bukti saksi mata.
Selain meningkatkan pemahaman tentang psikologi saksi mata, upaya untuk meningkatkan prosedur identifikasi polisi masih terus berlangsung. Seiring dengan semakin sadarnya masyarakat akan isu-isu ini, profesi hukum harus beradaptasi dengan perubahan ini untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan lebih baik. Pada akhirnya, dapatkah kita benar-benar mempercayai kesaksian saksi mata untuk menentukan apakah seseorang tidak bersalah atau bersalah?