Dalam masyarakat modern, konsumsi alkohol telah menjadi fenomena umum, tetapi toleransi orang yang berbeda terhadap alkohol sangat bervariasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa toleransi alkohol tidak hanya dipengaruhi oleh kebiasaan minum, berat badan, dan jenis kelamin, tetapi mungkin juga terkait erat dengan gen pribadi. Artikel ini akan membahas bagaimana toleransi alkohol dipengaruhi oleh faktor fisiologis dan genetik dan mengaitkan temuan ini dengan berbagai kelompok budaya dan etnis.
Toleransi alkohol mengacu pada respons fisiologis tubuh terhadap efek alkohol, termasuk toleransi langsung, kecepatan pemulihan dari keracunan, dan kemampuan untuk melawan masalah penyalahgunaan alkohol. Sering kali, orang yang minum secara teratur akan secara bertahap meningkatkan toleransi alkohol mereka, yang menyebabkan mereka perlu mengonsumsi lebih banyak alkohol untuk mencapai efek yang sama. Toleransi ini terkadang dapat menyebabkan perilaku atau ketergantungan alkohol.
Toleransi alkohol mungkin merupakan prekursor alkoholisme. Minum alkohol dalam jangka panjang juga dapat menyebabkan "toleransi terbalik", yaitu kerusakan hati yang menyebabkan mabuk dengan cepat hanya dengan sedikit alkohol.
Toleransi alkohol secara langsung dipengaruhi oleh berat badan, dengan orang yang bertubuh besar umumnya membutuhkan lebih banyak alkohol untuk merasa mabuk. Selain itu, aktivitas alkohol dehidrogenase di hati dan darah juga memengaruhi toleransi ini. Semakin tinggi aktivitas alkohol dehidrogenase, semakin cepat alkohol diubah menjadi asetaldehida yang lebih beracun. Penelitian telah menemukan bahwa frekuensi enzim khas ini cenderung lebih rendah pada pecandu alkohol.
Gen memainkan peran penting dalam toleransi alkohol, dengan variasi genetik tertentu memengaruhi kemampuan seseorang untuk memetabolisme alkohol. Misalnya, sekitar satu dari dua puluh orang akan mengalami mabuk alkohol, yang disebabkan oleh efek samping yang dialami tubuh saat memetabolisme alkohol. Reaksi ini tidak secara langsung menunjukkan apakah seseorang mabuk, tetapi menunjukkan bahwa mungkin ada aktivitas dehidrogenase asetaldehida yang lebih lambat dalam tubuh, yang mengurangi risiko minum berlebihan dan ketergantungan alkohol.
Ada perbedaan signifikan dalam toleransi alkohol di seluruh dunia, dengan penduduk asli Amerika memiliki risiko yang relatif lebih tinggi untuk mengembangkan alkoholisme, dan toleransi juga berbeda secara signifikan antara kelompok etnis Asia yang berbeda, seperti Tiongkok dan Korea. . Dari perspektif genetik, varian genetik dehidrogenase alkohol berkembang secara independen dalam budaya yang berbeda, yang menunjukkan hubungan dengan kelompok etnis.
Faktor sosial ekonomi dan budaya juga memengaruhi toleransi alkohol, yang memengaruhi pola makan, berat badan, dan pola minum.
Bagi banyak hewan, alkohol bergizi tetapi juga sangat narkotik. Kandungan alkohol dalam makanan banyak hewan umumnya tidak melebihi 4%. Penelitian telah menunjukkan bahwa serangga yang disebut tawon oriental tidak menunjukkan efek buruk pada perilaku atau siklus hidup bahkan setelah mengonsumsi makanan yang mengandung alkohol hingga 80%.
Toleransi terhadap alkohol tidak dapat dijelaskan oleh satu faktor fisiologis atau psikologis saja, tetapi merupakan hasil dari jalinan kebiasaan minum, gen, dan latar belakang budaya. Memahami perbedaan ini tidak hanya membantu individu mengidentifikasi toleransi alkohol mereka sendiri, tetapi juga mendorong diskusi yang lebih mendalam tentang budaya minum di masyarakat. Jadi, setelah memahami faktor genetik ini, apakah Anda mulai mempertanyakan apakah kebiasaan minum Anda dipengaruhi oleh gen?