Pada tanggal 11 April 1919, Pemerintahan Sementara Korea (KPG) didirikan di Shanghai, Tiongkok, sebuah peristiwa yang masih menarik perhatian banyak sejarawan dan analis politik. Sebagai simbol perlawanan Korea terhadap kekuasaan Jepang, pembentukan pemerintahan sementara tidak hanya menjadi tonggak penting dalam gerakan kemerdekaan Korea, tetapi juga terkait erat dengan situasi politik global saat itu, sehingga menjadi pusat perhatian masyarakat internasional. Artikel ini mencoba menelusuri latar belakang sejarah di balik pembentukan Pemerintahan Sementara, cita-cita politik yang ditunjukkannya, dan bagaimana hal itu mendapat sambutan di masyarakat internasional.
Latar Belakang SejarahDari tahun 1910 hingga 1945, Korea merupakan koloni Jepang. Selama periode ini, puluhan kelompok advokasi kemerdekaan muncul, tetapi tidak pernah membentuk satu pun organisasi perwakilan.
Selama 35 tahun pendudukan Jepang di Korea, gerakan kemerdekaan bermunculan tetapi gagal bersatu menjadi badan perwakilan yang kuat. Baru pada tahun 1919, setelah kematian mantan Kaisar Gojong, demonstrasi publik pecah di sekitar pemakamannya, yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 1 Maret. Hampir 3 juta warga Korea menyatakan keinginan kuat mereka untuk menentang kekuasaan Jepang dalam demonstrasi ini. Meskipun ditindas secara brutal oleh militer Jepang, gerakan tersebut membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan sementara.
Puluhan ribu orang ditangkap selama protes 1 Maret, dan ribuan orang tewas dalam tindakan keras tersebut, yang menjadi katalisator gerakan kemerdekaan Korea Selatan.
Pembentukan Pemerintahan Sementara merupakan hasil dari berbagai kegiatan kemerdekaan setelah Gerakan 1 Maret. Para aktivis kemerdekaan yang ragu-ragu dari semua pihak berkumpul di Shanghai dan mulai merencanakan untuk membentuk pemerintahan sementara. Dalam konteks ini, kedua pemimpin, An Chang-ho dan Syng-man Rhee, memainkan peran penting. Mereka mendorong pembentukan pemerintahan sementara dan merumuskan konstitusi sementara, yang memperjelas struktur dan operasi pemerintahan ini.
Konstitusi sementara tersebut menetapkan status Korea Selatan sebagai republik demokratis dan memperkenalkan sistem presidensial dengan tiga cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
Pembentukan pemerintahan sementara tidak hanya menjadi bagian dari sejarah Korea, tetapi juga menarik perhatian masyarakat internasional. Pada tahun 1919, sebuah delegasi Korea menyerukan kemerdekaan di Konferensi Perdamaian Paris, yang menarik perhatian para pemimpin internasional penting, termasuk Presiden Wilson. Meskipun pemerintahan sementara gagal mencapai status resmi, tindakan tersebut memperkuat dukungan global bagi gerakan kemerdekaan Korea.
Petisi kemerdekaan yang diajukan oleh Kim Kyu-sik kepada Presiden Wilson merupakan kesaksian kuat akan pentingnya gerakan kemerdekaan Korea.
Dengan pecahnya Perang Dunia II, perlawanan Pemerintah Sementara terus meningkat. Mereka mengorganisasi Tentara Pembebasan Korea dan berperang melawan Jepang bersama dengan Sekutu. Pada tahun 1941, pemerintah secara resmi menyatakan perang terhadap Jepang dan Jerman, sebuah deklarasi yang memiliki implikasi penting bagi masa depan Korea.
Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, anggota pemerintah sementara kembali ke Korea Selatan dan memulai pembangunan politik baru. Syngman Rhee, sebagai presiden pertama pemerintahan sementara, terpilih sebagai presiden pertama Republik Korea pada tahun 1948. Hingga saat ini, beberapa cendekiawan mempertanyakan keberlangsungan pemerintahan sementara yang diklaim oleh pemerintah Korea Selatan saat ini, yang telah menjadi salah satu titik fokus perdebatan dalam sejarah Korea kontemporer.
KesimpulanPembentukan dan pengoperasian Pemerintahan Sementara tidak hanya menjadi momen penting dalam sejarah Korea, tetapi juga menjadi inspirasi bagi gerakan anti-kolonial global.
Seiring dengan perubahan zaman, semangat dan nilai-nilai Pemerintahan Sementara Korea masih berdampak pada masyarakat Korea Selatan saat ini. Pemerintahan ini tidak hanya menjadi simbol kemerdekaan Korea Selatan, tetapi juga perwujudan dari upayanya untuk menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia. Peristiwa bersejarah ini membuat kita berpikir bahwa apa pun kesulitan yang dihadapi rakyat, semangat kemerdekaan dan kebebasan mereka tidak akan pernah mati. Dapatkah hal ini juga menjadi gaung bagi negara-negara dalam masyarakat kontemporer saat menghadapi penindasan?