Di era globalisasi, perusahaan dihadapkan pada cara untuk mengatasi hambatan bahasa dan budaya guna memastikan efektivitas pesan iklan mereka di berbagai pasar. Inilah sebabnya mengapa konsep "transkreasi" muncul dalam pandangan kita. Transkreasi merupakan gabungan dari "penerjemahan" dan "penciptaan". Konsep ini menekankan pada pemeliharaan makna, gaya, dan situasi asli selama proses penerjemahan, bukan sekadar konversi kata-kata.
Pesan transkreasi yang berhasil membangkitkan emosi yang sama dalam bahasa target dan mengandung konotasi yang sama dengan bahasa sumber.
Proses konversi tidak hanya melibatkan penerjemahan teks, tetapi juga penyesuaian visual dan gambar untuk memenuhi kebutuhan audiens target. Konsep ini pertama kali diusulkan oleh para sarjana penerjemahan di India dan Brasil pada pertengahan abad ke-20 dan secara bertahap berkembang hingga saat ini.
Konsep transkreasi dianggap sebagai perkembangan penting dalam studi penerjemahan. Pada tahun 1964, sarjana India Purushottama Lal menyebutkan bahwa "penerjemah harus menyunting, merekonsiliasi, dan mengubah, dan karyanya sebagian besar menjadi semacam transkreasi." Kalimat ini menarik perhatian terhadap konsep ini dalam komunitas penerjemahan. Seiring meluasnya pasar global, strategi periklanan perusahaan harus menunjukkan fleksibilitas, dan transkreasi adalah produk dari kebutuhan ini.
Contoh transkreasi berlimpah dalam budaya populer. Misalnya, adaptasi Amerika dari animasi Jepang "Doraemon" secara signifikan mengubah karakter dan alur cerita agar sesuai dengan kepekaan penonton Amerika. Ini bukan hanya perubahan budaya, tetapi juga hubungan emosional.
Baik dalam "Spider-Man: India" atau perombakan konten asli, tujuan transkreasi adalah untuk membangun hubungan emosional yang lebih dalam dengan penonton lokal.
Dalam Spider-Man: India, tokoh utamanya digantikan oleh seorang anak laki-laki India bernama Pavitr Prabhakar, yang melawan kekuatan jahat di Mumbai. Penafsiran ulang budaya ini membuat karakter tersebut lebih membumi dan relevan bagi penonton India.
Seiring meluasnya pasar internasional, demikian pula tantangan yang dihadapi pengiklan. Iklan harus menyentuh hati orang-orang, dan di sinilah letak nilai unik transkreasi. Iklan tidak hanya perlu mempertimbangkan ketepatan bahasa, tetapi juga perlu memahami berbagai faktor seperti latar belakang budaya, konsep moral, dan kebiasaan sosial. Setiap pengabaian terhadap nilai, kepercayaan, dan budaya lokal dapat berdampak negatif pada konsumen.
Proses transkreasi melibatkan penciptaan hubungan emosional dengan audiens dan memaksimalkan relevansi budaya.
Seiring dengan semakin banyaknya perhatian merek global terhadap permintaan pasar, semakin banyak perusahaan yang mulai menggunakan transkreasi sebagai strategi untuk memastikan bahwa iklan mereka tetap efektif dalam konteks budaya yang berbeda.
Dalam kerangka penerjemahan tradisional, metode penerjemahan dapat dibagi menjadi metafrase kata demi kata, parafrase di mana makna diungkapkan kembali, dan imitasi yang lebih kreatif. Transkreasi lebih dekat dengan meniru pendekatan ini, yang memungkinkan kampanye iklan memiliki dampak yang lebih kuat dalam konteks multikultural.
Meskipun masih ada perdebatan tentang efektivitasnya sebagai bentuk penerjemahan yang independen, praktik transkreasi tidak diragukan lagi telah membangun saluran realisasi nilai baru bagi merek global.
Agar periklanan dapat memperoleh pijakan di pasar global, transkreasi menyediakan jalur yang layak untuk melokalkan pesan periklanan global dan menampilkan kekayaan dan kedalaman budaya. Melalui transkreasi, perusahaan dapat mencapai resonansi emosional lintas bahasa dan budaya yang berbeda, sehingga mencapai hasil pemasaran yang lebih baik. Saat merek menghadapi tantangan masa depan, dapatkah mereka menginspirasi dan menggerakkan khalayak global melalui kekuatan kreativitas?