Inkontinensia fekal (FI), terkadang disebut inkontinensia konstipasi, adalah ketidakmampuan untuk mengendalikan gerakan usus, yang mengakibatkan keluarnya feses yang tidak terkendali (termasuk gas, komponen feses cair, dan lendir). Penting untuk dicatat bahwa inkontinensia fekal merupakan gejala atau temuan, bukan diagnosis yang berdiri sendiri. Kondisi ini dapat memiliki penyebab yang berbeda dan dapat terjadi bersamaan dengan konstipasi atau diare. Kemampuan untuk mengendalikan feses dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, termasuk mekanisme pengambilan sampel anus, dan inkontinensia sering kali merupakan akibat dari cacat pada berbagai mekanisme.
Studi menunjukkan bahwa inkontinensia fekal memengaruhi sekitar 2,2% orang dewasa yang tinggal di masyarakat, sementara angka ini mungkin setinggi 8,39% di antara orang dewasa Amerika yang tidak dirawat di rumah sakit.
Penyebab inkontinensia fekal yang paling umum meliputi kerusakan rektum pascapersalinan, komplikasi dari operasi anorektal sebelumnya, perubahan kebiasaan buang air besar seperti sindrom iritasi usus besar, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, dan inkontinensia luapan akibat sembelit. Perlu dicatat bahwa menurut statistik, tingkat inkontinensia fekal di antara beberapa orang lanjut usia yang dirawat di panti jompo mungkin mendekati 50%. Efek dari kondisi ini tidak hanya fisik, tetapi juga termasuk stres emosional dan sosial.
Inkontinensia fekal memiliki tiga konsekuensi utama: pertama, reaksi lokal pada kulit dan uretra di sekitarnya, seperti eksim kulit, infeksi saluran kemih, dan luka tekan. Kedua, beban ekonomi memiliki dampak yang signifikan pada individu dan masyarakat—baik karena biaya medis, biaya tidak dapat bekerja, atau biaya pembelian produk inkontinensia. Terakhir, penurunan kualitas hidup sering dikaitkan dengan konsekuensi jangka panjang seperti harga diri yang rendah, rasa malu, depresi, dan kebutuhan untuk merencanakan hidup secara cermat agar memiliki toilet yang mudah diakses.
Menurut laporan tersebut, lebih dari 50% pasien kritis yang dirawat di rumah sakit mengatakan bahwa inkontinensia fekal lebih buruk daripada kematian.
Menghadapi tantangan ini, banyak orang enggan mencari pertolongan medis karena stigma sosial, dan memilih untuk mengelola sendiri gejalanya secara rahasia, yang memperburuk masalah. Inkontinensia fekal adalah kondisi medis dengan beban psikologis dan sosial yang signifikan pada orang sehat, tetapi sering kali dapat diperbaiki dengan intervensi medis yang tepat.
Kemungkinan penyebab inkontinensia fekalPerkembangan inkontinensia fekal biasanya merupakan hasil interaksi berbagai faktor. Banyak dari faktor-faktor ini dapat dengan mudah dimodifikasi. Hingga 80% orang mungkin memiliki lebih dari satu kelainan yang memengaruhi fungsi usus mereka. Salah satu faktor utamanya adalah trauma pascapersalinan, terutama komplikasi yang mungkin timbul selama operasi yang melibatkan sfingter ani. Selain itu, penyakit neurologis, disfungsi usus, dan gangguan emosional atau perilaku juga dapat menyebabkan inkontinensia.
Banyak wanita mungkin mengalami kerusakan pada otot dan saraf panggul setelah melahirkan secara alami, yang dapat menjadi penyebab utama inkontinensia fekal.
Risiko cedera meningkat secara signifikan selama persalinan, terutama ketika alat bantu menelan digunakan, persalinan berlangsung lama, atau ketika bayi berat. Cedera tersembunyi ini mungkin tidak langsung terlihat setelah melahirkan, namun, cedera tersebut dapat tiba-tiba terlihat setelah terpapar perubahan seperti menopause. Bagi mereka yang telah menjalani operasi, seperti pengangkatan ambeien atau operasi rektal, hal ini juga dapat memicu risiko inkontinensia fekal. Cedera pascaoperasi dapat menyebabkan melemahnya otot sfingter ani, yang dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk mengendalikan anus.
Dampak inkontinensia fekal pada kehidupan mental, sosial, dan profesional seseorang sangat luas. Dampak emosional yang dapat ditimbulkannya meliputi kecemasan, stres, rasa malu dan isolasi, dan bahkan penurunan sementara dalam antusiasme untuk kegiatan sosial. Faktanya, banyak pasien berjuang untuk mengendalikan diri secara emosional, yang mengganggu kehidupan sehari-hari dan hubungan mereka.
Gejala-gejala ini dapat memburuk seiring waktu, mengancam aktivitas fisik dan sosial serta kualitas hidup secara keseluruhan. Bagi banyak pasien, rasa malu yang tak tertahankan dan beban psikologis yang terus-menerus membuat mereka merasa kewalahan saat menghadapi kondisi ini. Saat beban di hati mereka bertambah, apakah mungkin memberi mereka keberanian untuk mencari pertolongan?