Heparin, antikoagulan yang ditemukan pada awal tahun 1900-an, telah menjadi alat bantu hidup yang sangat diperlukan dalam bidang medis. Mekanisme kerja dan cakupan penggunaannya memiliki dampak yang tidak dapat diremehkan terhadap hasil medis, terutama dalam pengobatan kondisi akut seperti serangan jantung dan angina tidak stabil, di mana heparin memberikan bantuan yang vital. Namun, untuk obat yang banyak digunakan ini, sejarah, mekanisme, dan risiko penggunaannya mungkin belum sepenuhnya dipahami.
Penemuan heparin dapat ditelusuri kembali ke tahun 1916, ketika pertama kali diusulkan oleh Jay McLean dan William Henry Howell. Seiring berjalannya waktu, pengujian klinis heparin tidak diluncurkan secara resmi hingga tahun 1935. Studi awal dilakukan pada sel yang diisolasi dari hati anjing, oleh karena itu namanya, karena "hepatik" (hēpar) adalah kata Yunani untuk hati.
"Heparin bukan hanya obat yang menargetkan pembekuan darah, sejarahnya juga merupakan proses pengembangan ilmiah yang berkembang pesat."
Sebagai antikoagulan, fungsi utama heparin adalah mencegah pembekuan darah, terutama dalam situasi berikut:
Heparin tidak hanya digunakan sebagai terapi, tetapi juga sering digunakan dalam prosedur medis rutin seperti operasi jantung dan dialisis. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi obat secara oral sering kali perlu diberikan heparin secara intravena atau subkutan, yang sangat penting dalam situasi darurat.
Meskipun heparin memiliki berbagai macam aplikasi medis, penggunaannya tetap harus hati-hati. Efek samping yang umum termasuk nyeri di tempat suntikan, pendarahan, dan trombosit rendah. Efek samping yang paling menonjol adalah trombositopenia akibat heparin (HIT), respons imun yang dapat memperburuk kondisi pasien.
"Penggunaan heparin perlu dipantau secara cermat, terutama pada kelompok berisiko tinggi tertentu."
Peran normal heparin dalam tubuh manusia belum sepenuhnya dipahami, tetapi penelitian awal menunjukkan bahwa heparin terutama merupakan mekanisme pertahanan yang membantu tubuh melawan infeksi. Faktanya, heparin dapat ditemukan pada banyak organisme, termasuk beberapa invertebrata yang tidak memiliki sistem pembekuan darah, yang menunjukkan bahwa fungsinya mungkin telah berevolusi menjadi antibakteri daripada sekadar antikoagulan.
Dalam farmakologi, struktur heparin adalah polimer dengan berat molekul berkisar antara 3 hingga 30 kDa. Karena muatan negatifnya yang tinggi, heparin tidak bekerja jika diberikan secara oral dan harus diberikan melalui suntikan. Berdasarkan ukuran molekulnya, heparin dapat dibagi menjadi heparin tak terfraksinasi (UFH) dan heparin berat molekul rendah (LMWH), yang terakhir memberikan efikasi yang lebih dapat diprediksi.
Heparin diproduksi dalam industri pengolahan daging, terutama dari jaringan usus babi atau sapi. Namun, karena epidemi COVID-19, rantai pasokan heparin telah terjepit secara signifikan, terutama selama epidemi, ketika pabrik pengolahan daging menjadi titik panas virus, yang semakin memperburuk kekurangan heparin. Di beberapa negara miskin, hal ini mengakibatkan tantangan besar bagi layanan perawatan kesehatan non-epidemi seperti bedah jantung.
Sebagai antikoagulan kuno dan klasik, efektivitas heparin telah diverifikasi oleh banyak penelitian dan praktik klinis. Dalam sistem medis pasca-COVID-19, bagaimana memastikan pasokan sumber daya yang berharga ini tetap stabil dan memastikan penggunaannya yang aman akan menjadi isu penting bagi komunitas medis global. Haruskah kita memikirkan kembali cara pemberian heparin untuk memastikan lebih banyak nyawa terlindungi di masa mendatang?