Di era yang dibentuk ulang oleh perilaku manusia saat ini, ekosistem bukan hanya fenomena yang ada di alam, tetapi juga mencakup "ekosistem baru" yang dibangun dan diubah oleh manusia. Ekosistem baru ini terus berkembang di seluruh dunia, memengaruhi kehidupan kita sehari-hari dan lingkungan alam. Saat kita merenungkan hubungan yang halus dan rapuh ini, kita tidak dapat menahan diri untuk bertanya: Apa peran teknologi dalam lingkungan kita?
Dalam menghadapi perubahan iklim global, kepunahan spesies, dan perubahan besar dalam ekosistem, dampak ekosistem teknologi sulit untuk dibalik.
Istilah "ekosistem baru" biasanya digunakan untuk mengedit pola interaksi antara sistem air, tanah, tumbuhan, dan hewan yang terkait dengan aktivitas manusia. Di bawah pengaruh manusia, ekosistem ini telah memperoleh komposisi dan fungsi yang sama sekali berbeda, yang menyebabkan beberapa kejutan dan refleksi dalam komunitas biologis.
Misalnya, kita tahu bahwa "teknosol" adalah jenis tanah baru yang dapat ditumbuhi tanaman, tetapi struktur dan sifatnya sangat berbeda dari tanah alami. Oleh karena itu, dalam ekosistem baru ini, penggunaan kembali sumber daya dan pemulihan lingkungan telah menjadi salah satu tantangan yang paling mendesak.
Masyarakat industri perkotaan saat ini tidak hanya memengaruhi ekosistem pendukung kehidupan alami, tetapi juga menciptakan tatanan baru yang berbeda dari alam.
Ekosistem yang digerakkan manusia ini tidak hanya mengubah lingkungan Bumi, tetapi juga mengubah hubungan antar spesies. Kota-kota, lahan pertanian, dan daerah pedesaan yang tak terhitung jumlahnya adalah perwujudan sejati ekosistem ini. Di daerah-daerah ini, interaksi antara aktivitas manusia dan ekologi alam telah membentuk model ekologi baru, yang disebut "Anthromes".
Masalah-masalah yang dihadapi oleh bioma yang tercipta ini rumit dan menakutkan. Pengaruh manusia di era ini telah membuat ekosistem kita tidak lagi menjadi struktur alamiah semata, tetapi tercemar oleh teknologi. Menurut perkiraan, 23,8% dari produktivitas alam global dimanfaatkan oleh manusia, yang menunjukkan semakin besarnya kontradiksi antara keanekaragaman hayati dan keanekaragaman teknologi.
Sungguh mengherankan bahwa manusia, sebagai spesies di bumi, dapat memiliki dampak yang begitu besar terhadap biosfer.
Di era perkembangan teknologi yang pesat ini, batas-batas antara ekosistem teknologi dan ekosistem alam semakin kabur. Pada saat yang sama, keberadaan "Teknosfer" memang telah meningkatkan tekanan terhadap kelangsungan hidup kita di alam. Lingkungan yang didominasi oleh keanekaragaman teknologi ini semakin memaksa ekosistem untuk beradaptasi, berubah, atau sepenuhnya membentuk kembali dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak ahli ekologi telah mulai mengeksplorasi konsekuensi yang luas dari efek-efek ini. Mereka menunjukkan bahwa ekosistem teknologi memiliki kebutuhan energi yang jauh melebihi ekosistem alami, mengonsumsi air dalam jumlah besar, dan melepaskan zat-zat beracun. Secara global, fenomena ini bukan lagi kasus yang terisolasi, melainkan tren yang meluas.
Ekosistem teknologi baru secara bertahap telah menggantikan ekosistem alami sebagaimana yang kita ketahui, sehingga menciptakan tekanan yang sulit untuk dibalikkan.
Dalam konteks ini, banyak ilmuwan telah mulai mencari strategi untuk memulihkan ekosistem baru ini dan mengidentifikasi cara yang lebih baik untuk mengintegrasikan sistem alami dan teknologi menjadi satu kesatuan yang berkelanjutan. Upaya semacam itu sangat penting di wilayah perkotaan dan pertanian, tempat ekosistem teknologi beroperasi sebagai inti dari operasinya.
Dalam menghadapi ekosistem yang dirancang manusia seperti itu, pertarungan antara teknologi dan alam dapat mengubah cara kita berinteraksi dengan lingkungan secara permanen. Namun, seiring manusia terus mengeksplorasi cara yang lebih baik untuk mengatasi kontradiksi ini, seperti apa bentuk ekosistem masa depan?